Rabu, 06 Juli 2011

Jangan Panggil Saya Jablay

-MeyMila Syifa Isnu_-

Dua puluh tahun lalu, lahirlah seorang anak laki-laki di kampung terpencil dekat dengan kaki gunung sawal, yaitu di kampung Singkup, desa Jayagiri, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis. Anak itu diberi nama Dede Sutisna oleh kedua orang tuanya. Bapaknya bernama Aep dan ibunya benama Suryati. Dede sutisna mempunyai kakak laki-laki yang bernama Hermanto, yang jarak umurnya sekitar tiga tahun.

Dede Sutisna memiliki ciri-ciri fisik berkulit sawo matang dengan potongan rambut belah tengah, tingginya sekitar 165 cm. Saat ini dia sedang bekerja di daerah Cikarang Barat, Di kampung Pagaulan Desa Sukaresmi. Dia sekarang bekerja di bengkel Las CV. Sadar Kencana 1.

Pada 1 juni kemarin, aku bergegas pergi ke daerah Cikarang ke tempat Dede Sutisna bekerja. Sebelumya aku sudah janjian dengan Dede via telepon beberapa hari sebelumnya. Ketika aku tiba di bengkel, saat itu jam tangan hitam putihku sudah menunjukkan sekitar pukul 17.00 sore.

Suasana bengkel pada saat itu sangat bising karena pengaruh dari suara mesin gurinda yang digunakan oleh salah satu pegawai bengkel yang sedang mengerjakan sebuah pagar pesanan, dan bisingnya suara kendaraan motor dan mobil yang berlalu lalang, karena letak bengkel tersebut berada dipinggir jalan raya.

Bengkel tersebut tidak terlalu luas kira-kira hanya berukuran 5x6 meter saja dan dipenuhi dengan berbagai jenis besi dan peralatan yang akan digunakan oleh para pegawai untuk menyelesaikan pesanan dari para pelanggannya. Dibelakang bengkel terdapat sebuah ruangan, didalam ruangan tersebut terdapat kasur dan kursi serta kamar mandi. Ruangan tersebut digunakan untuk para pegawai beristirahat, tidur, dan mandi. Didepan bengkel terdapat pagar yang belum di cat, dan kanopi yang berukuran sangat besar.

Dede sutisna merupakan tamatan dari SD Jayagiri 2. Dede berkecimpung di dunia bengkel las sejak dia lulus dari sekolah dasar. Dia pertama kali diajak oleh tetangganya untuk bekerja di bengkel las di daerah Bandung. Tepatnya di daerah Cicahem. Sekitar tiga tahun lamanya dia bekerja disana.

Dia mempunyai kisah yang unik ketika pertama kali dia menginjakkan kaki di Bandung. Dia bercerita tentang kepolosan dia ketika di Bandung. Dia diajak menonton konser di daerah gazibu oleh temannya yang bernama Kurnia. Kerena dia baru pertama kalinya menonton konser, dia ingin sekali melihat artis band kesukaannya dengan jarak yang dekat, dan dia tidak menghiraukan temannya yang sedang asik berjoged dibelakang. Dia lalu meninggalkan temannya yang sedang asik berjoged tersebut, dia pun menerobos masuk langsung ke barisan yang paling depan. Dia merasa sangat senang ketika sudah berada didepan panggung dan bisa melihat secara langsung artis band Kotak, ujarnya.

Ketika konser sudah di ujung acara, dia pun mulai panik dan bingung mencari Kurnia temannya itu, dia mulai mencari kesana kesini. Dari semula tempat konser itu ramai hingga menjadi sepi, tetapi dia tidak menemukan keberadaan Kurnia. Ia terus berkeliling dan mencari-cari temannya itu.
“Kepengen nagis mba, saya sendirian soalnya dan belom tahu jalan yang ada di Bandung”. katanya.
“Saya lihat tempat konser itu Cuma tinggal orang–orang yang memakai seragam yang sedang sibuk membenahi panggung.

Saya mulai berjalan dan terus berjalan mengingat-ngingat tempat jalan pulang kebengkel. Saya menunggu di warung kaki lima dan membeli secangkir kopi hitam dan sebatang rokok kretek”. Saya nanyain jalan pulang ke pedagang warung kaki lima itu..

“Mba, angkot ke Cicahem udah lewat belom yah?”tanyanya kepada pedagang tersebut.

“Kalau jam segini mah kang udah engga ada angkot ke cicahem” ujar pedagang warung.
Waktu sudah menunjukkan pukul 02.30 dini hari, saya hanya melamun dan menyesali perbuatan saya yang dengan beraninya menerobos barisan paling depan dan meninggalkan temannya dibelakang.

“coba tadi gua nggak kedepan-depan, nggak bakal ditinggalin gua sama Kurnia. Bego banget gua”. ungkapnya dalam hati sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“Emang nggak bawa hp kang?” Tanya pedagang rokok lagi.
Boro-boro punya Handphone mba, mau beli baju aja susahnya minta ampun, celetusnya dengan wajah yang memerah, yang pada saat itu sedang memakai baju merah dan celana jeans biru.

“Terus gimana akang bisa pulang?”

“Saya mau nungguin sampe pagi aja deh mba, mau nungguin angkot. Kebetulan juga saya punya teman supir angkot yang jurusan cicahem lewat bengkel saya kali aja ntar dia lewat”. ujar dede.
Pada pagi harinya kira-kira pukul 08.30 pagi, dia bertemu dengan supir angkot temannya itu. Lalu dia langsung meminta kepada supir angkot itu untuk mengantarkannya pulang ke bengkel. Setibanya di bengkel Las, dia ditertawakan oleh bos dan teman-temannya di bengkel.

“Saya juga ikut ketawa-ketiwi juga aja mba,” ujarnya.
Tak lama kemudian dia mengeluarkan rokok Djarum super yang berwana merah hitam dari saku celana jeans birunya yang sedikit lusuh.

“Bolehkan mba wawancaranya sambil ngerokok?” ujarnya yang meminta izin

“Boleh kang,” jawab ku.

“Sejak kapan akang bekerja di Cikarang??”

“Waduh,” ujarnya sambil mengingat-ngingat kapan dia mulai kerja di cikarang.

“Kurang lebih empat tahunan mba saya bekerja di cikarang.”

“Lalu sejak kapan akang dipanggil Jablay?”

“Dari semenjak saya kerja di bengkel ini ja mba.”

“Kan nama asli akang Dede Sutisna, kenapa panggilan akang jadinya Jablay?”

“He..he…” dia hanya tersenyum.

“Boleh tau nggak asal mula ceritanya itu kaya gimana kang?”

“Itu awalnya dari kebiasaan saya mba yang sering bergadang dan maen sampe jam dua pagi. Yang pertama panggil saya jablay itu teman saya. Kalo mau lebih jelas lagi mendingan tanya aja deh mba langsung sama orangnya,” ujar dia sambil menunjuk temannya dan memanggilnya.

“Nih si Rohadi yang pertama kali panggil saya Jablay,” sahutnya sambil terlihat sewot kepada temannya itu dan sedikit menarik tangan temannya itu.

“Kenapa dia dipanggil Jablay kang?” tanyaku sambil melihat kearah Rohadi yang berbaju bertuliskan merk dari kopi Nescafe warna coklat muda dan mengenakan celana jeans biru pendek itu.

“Mba dia kan sering pulang subuh kalo maen, kan klo kaya gitu sama aja kaya jablay. Makanya iseng aja saya panggil dia itu Jablay”. Sepele itu mah mba sebenernya. jawab rohadi sambil tertawa lebar.

Ketika sedang asik mengobrol dengan para pekerja bengkel yang berjumlah lima orang, yang pada saat itu terlihat sedang bekerja di Bengkel Las Sadar Kencana. Tiba-tiba datang seorang laki-laki bercelana pendek memakai jaket kulit hitam dan sandal putih yang turun dari motor vario berwarna merah marun.

“wah.. si bos datang” sahut rohadi dengan nada pelan.
Lelaki itu menatap aku, mungkin dia merasa aneh karena ada wanita di bengkelnya sedang berbincang-bincang dengan para pegawainya. Aku langsung memperkenalkan diri kepada bosnya itu, lalu menceritakan maksud dan tujuan ku datang ke sana sekaligus meminta sedikit waktu untuk wawancarainya.
Namanya Asep Maryadi dia asli Ciamis, usianya 30 tahunan, dan dia mempunyai 2 orang anak. Ia tinggal di Perumahan Taman Sentosa Cikarang, yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan Bengkel.

“Mba wawancaranya jangan lama-lama ya, saya lagi ada urusan soalnya. Maaf nih mba sebelumnya”. sahut Asep Maryadi ketika saya ajak untuk wawancara.

“Ia kang”. Ujar ku

“Bagaimana kinerja Dede Sutisna ketika bekerja di bengkel selama ini Kang?”

“Dia pekerja yang paling cekatan mba, kalau pasang kanopi aja cepet banget, cuma saya sering kawatir aja kalau lagi masang di luar atau ada urusan manjat memanjat, si jablay itu kalo kerja jarang pakai banget pengaman mba tapi dia itu emang pegawai yang paling rajin mba,” ucap Asep.

“Terus kang tau nggak kalo kenapa dia di panggil Jablay sama teman-temannya?”

“Hahahaha… Asep langsung tertawa lepas.

“Emang dia itu kaya Jablay mba”.


“Maksudnya kaya gimana Kang?”

“Daerah sini kan banyak kontrakan cewe, dia itu nongkronnya di daerah sekitar kontrakan cewe-cewe itu. Dan kalo pulang main pasti subuh. Nah karna itu kali mba jadi dia sering di panggil Jablay.”

Tak lama kemudian suara telepon genggam Asep berbunyi dengan nada dering “Biarkan aku jatuh cinta” dari ST 12.

“Hallo.. iya saya langsung meluncur ke tempat”, ujar Asep yang langsung berpamitan kepadaku karena sudah ditunggu oleh rekannya.

Ketika itu, Dede Sutisna terlihat sedang asik bercanda dengan para pegawai bengkel yang lain. Lalu Aku hampiri dan meminta waktunya kembali untuk meneruskan wawancaranya.

“Kang keberatan ya klo di panggil jablay?”
(Garuk-guruk kepala) sebenarnya sih mba saya keberatan banget mba dengan panggilan Jablay.

“Kenapa? Tanyaku lagi.

“Bayangin aja mba, orang lain kalo denger saya dipanggil jablay pastikan orang lain itu akan beranggapan kalau saya ini orang nggak bener yang sering maen jablay padahal kan nggak mba, ujarnya dengan raut muka yang kecewa.

“Sebenarnya sih saya cuma kepengen di panggil dede, atau sutisna lah sesuai dengan nama asli saya aja. Malu banget mba sampai semua orang di daerah sini tau dan panggil saya jablay.”

“Keberatan banget ya dengan nama panggilan itu?”

“Sangat keberatan mba, coba aja mba kalo lagi banyak orang saya di panggil jablay, waduh enggak kebayang dah mba malunya. Apalagi kalau saya lagi kenalan sama cewe, dan cewe itu tau kalau nama panggilan saya itu jablay pasti pada jauhin saya. Pastikan mereka beranggapan bahwa saya ini orang yang nggak baik. Padahal mereka belom kenal saya. Saya juga pernah punya pengalaman yang nggak enak mba gara-gara panggilan nama Jablay ini.”

“Bisa diceritakan mas pengalaman yang kurang enaknya ?”

“Waktu pulang kampung lebaran kemarin, teman saya pada maen ke rumah saya. Dia nanyain ke mamah saya ada nggak saya dirumah, nanyain saya nya pake nama panggilan jablay. Mamah saya langsung nanyain “kenapa kamu di panggil jablay? Kamu sering maen jablay ya disana”.

“Ya saya jawab itu Cuma nama panggilan saya aja waktu kerja soalnya saya suka pulang pagi ma”.

“Disini aja mba saya lagi deketin cewe tukang somai yang jualan di pujasera Taman Sentosa sana, udah deket banget mba padahal cewenya sama saya. Gara-gara tau saya sering di panggil jablay sama temen-temen saya, itu cewe langsung kabur gitu aja mba. Saya sms enggak pernah dibales, saya telepon enggak pernah diangkat. Terus pas ketemu dia bilang “udah jangan deketin gw lagi, gw enggak mau punya temen apalagi jadi punya pacar tukang maen ke jablay.”

“Padahal saya udah jelasin ke cewe itu mba, tapi cewe itu tetep aja nggak percaya dan anggep saya negative, yaudahlah saya nggak mau maksa dia buat percaya. Yang penting kan saya udah bilang yang sebenernya ke dia. Kalo dia nggak terima ya udah emang bukan jodoh juga kali mba. Terima nasib aja dah mba dipanggil kaya gitu. Habis gimana lagi”.

Dari sejak itu Dede Sutisna tidak pernah lagi mencoba mendekati wanita, dan dia tidak lagi membayangkan untuk memiliki pacar di daerah sekitar bengkelnya, karena takut akan ditolak seperti pada pengalaman-pengalaman yang kemarin-kemarin.

“Saya kalo mau cari pacar lagi ya mba, di daerah yang enggak ada teman satupun yang tau kalo saya dipanggil jablay. Saya nggak mau mba kaya kemaren lagi. Saya juga pengen punya pacar mba.”
Ketika dia sedang bercerita matanya terlihat sedikit memerah dan raut mukanya terlihat menahan kekesalan.

“Apa akang tidak pernah meminta kepada teman-teman akang agar menghentikan panggilan itu?”

“Udah sering banget mba saya minta supaya saya jangan dipanggil Jablay lagi, tapi temen-temen saya malah pada ketawa katanya saya emang pas dibilang Jablay dan temen-temen saya udah kebiasaan manggil saya Jablay. Udah ga bisa diubah lagi katanya. Ga tau deh mba sampe kapan temen-temen saya itu manggil saya Jablay. Pokoknya Jalan satu-satunya yah kalo saya mau punya pacar yah saya harus cari yang diluar lingkungan bengkel”.

Dan akhirnya tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 malam sudah tiga jam berlalu aku berbincang-bincang dengan mereka. aku menyudahi wawancaraku pada hari itu dan berpamitan langsung kepada semua orang yang saat itu berada di Bengkel. Lalu akupun pulang ke rumahku.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More