Kamis, 07 Juli 2011

Kisahku

Jumat siang yang tidak begitu menyenangkan bagiku. Bangun tidur setelah menangis semalaman membuat kepalaku pusing dan mataku bengkak. Ya, aku habis bertengkar hebat dengan pacarku semalam, hanya karena kesalahpahaman saja. Malas sekali rasanya bangun dari kasur ini, tapi aku harus segera mandi, karena temanku Ines akan berkunjung ke kos-kosanku yang terletak di belakang DPRD Kota Bekasi.

Tidak lama setelah aku selesai mandi, Ines datang. Sempat heran dengan kedatangan Ines, karena sebelumnya di sms dia tidak menjelaskan alasan kedatangannya. Langsung saja kusuruh dia masuk ke kamar kos berukuran 3x3 meter bercat putih gading, yang terlihat semraut karena aku belum beres-beres kamar.

Ines langsung merebahkan tubuhnya di kasur busaku yang dibalut sprei berwarna hitam putih dengan motif sapi-sapi gendut.

“Huuft, gila cuaca sih rada mendung, tapi udaranya panas banget…bikin lengket badan aja nih!”
“Makanya mandi dong kaya gue, hahaha…”
“Ah, elu aja baru mandi barusan bangga. Hahaha…”

Terlihat sangat lelah temanku yang satu ini, langsung saja ku ambilkan segelas air dingin dari dispenser. Tanpa basa-basi lagi ku tanyakan alasan dia ke tempatku, dengan muka lesu dia menjawab bahwa kisahku akan dijadikan bahan untuk tugas menulis jurnalistik sastranya. Sejenak aku berpikir, lalu aku mengiyakan untuk di wawancarai, sekalian curhat gratis.

Oke, aku seorang wanita biasa-biasa saja. Dengan tinggi 165cm dan berat 47kg aku rasa cukup ideal buatku. Rambut lurus panjang se-pinggang, mata belo dan kulit sawo matang lumayan bisa membuat para cowok yang berpapasan denganku dijalan melirik sampai 180 derajat ke arahku.

Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, tak terkecuali aku! Keperawananku hilang sejak aku duduk di bangku SMA. Sedih memang, tapi “kecelakaan” itu terjadi bukan atas keinginanku! Aku menjalani hari-hari yang biasa saja, tanpa ada gairah hidup. Masa depanku sudah hancur, tapi aku masih mempunyai mimpi. Mimpi bertemu dengan seorang pangeran berkuda putih yang mencintaiku dengan tulus dan ikhlas menerima kekuranganku.

Akhirnya aku lulus SMA dan kuliah di universitas terbesar dan tertua di Bekasi. Aku sangat bersemangat, karena akan bertemu dengan orang-orang baru dan suasana baru tentunya. Kehidupanku di kampus biasa saja, aku berteman dengan banyak orang dari jurusan lain dan mencoba membina hubungan pertemanan yang baik. Sampai suatu hari aku mengenal “dia”. “Dia”, Radit namanya, satu kampus denganku tetapi berbeda jurusan.

“Pangeran berkuda putih yang selama ini aku nanti”, bisikku dalam hati.

Sosok yang begitu sempurna di mataku. Tidak terlalu lama kami pe-de-ka-te, hanya satu bulan setengah lalu kami menjalin hubungan. Hubungan yang cukup serius, karena di bulan berikutnya dia melamarku secara pribadi dan memintaku untuk menikah dengannya.

Tanpa ragu aku mengiyakan permintaannya tersebut, seminggu kemudian kami menikah dibawah tangan atau nikah sirih. Kami menikah di Kota Karawang, aku di walikan oleh sepupuku yang tinggal di Karawang. Kami menikah tanpa direstui kedua orangtua kami masing-masing, dan tanpa sepengetahuan keluarga kami kecuali sepupuku. Salah memang jalan kami, tetapi kami sudah saling mencintai.

Beberapa hari kemudian Radit mulai tinggal bersamaku di kos-kosan. Kami menjalani hidup layaknya sepasang suami-istri sungguhan. Pulang-pergi ke kampus bareng, makan siang bareng, sampai semua teman-teman iri kepada kami. Tetapi tidak ada satu orang teman pun yang mengetahui kalau kami sudah ada ikatan pernikahan, sengaja kami merahasiakannya.

Satu bulan, tiga bulan, dan lima bulan sudah kami menjalani kisah ini. Terasa sangat indah,aku merasa sebagai seorang wanita yang paling beruntung di dunia ini karena mempunyai suami yang baik, perhatian dan sangat pengertian.

Sampai pada suatu hari aku memergoki dia selingkuh! Dia jalan dengan wanita lain yang masih satu kampus juga dengan kami. Dan yang lebih sakit hatinya lagi, mereka jalan, nonton, makan, dan beli baju pakai uang bayaran semesterku!!! Uang itu ku titipkan di Radit agar tidak terpakai olehku, tetapi mengapa justru dipakai untuk selingkuh dengan wanita lain??? Sampai akhirnya aku harus cuti kuliah semester berikutnya.

Sejak kejadian itu hubungan kami berubah drastis!!! Tidak ada kehangatan, kasih sayang, bahkan hanya sebuah pelukan sekalipun! Radit pun menjadi sosok yang tak ku kenal, dia menjadi sangat dingin terhadapku, dan sangat jarang sekali pulang ke kos-kosan.

Radit menjadi kasar. Dia sering membentakku kalau aku melakukan satu kesalahan kecil saja, tak jarang dia juga memukulku. Aku mencoba sabar, mungkin saat itu dia sedang emosi saja. Aku turuti semua perintah dia, karena dia suamiku, suami yang sangat ku cintai.

Beberapa hari kemudian aku memergoki dia jalan bersama wanita itu lagi, mereka pergi nonton film, makan, lalu berakhir ke kos-kosan wanita tersebut. Aku tidak bisa menahan emosiku yang sudah memuncak. Aku nekat mendobrak pintu kamar kos wanita itu, dan aah… ternyata mereka sedang bercumbu!!!

Kaget dengan kedatanganku, mereka langsung melepaskan pelukan dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Langsung ku caci maki mereka berdua dengan kata-kata kasar, ku gebrak pintu sekencang-kencangnya hingga mereka berdua terkejut. Emosiku sudah tidak terkendali lagi, ku dekati wanita itu dan langsung kujambak rambutnya yang hanya sebahu. Aku teriakan cacian di depan mukanya, dia tidak mencoba melawan sama sekali karena dia merasa bersalah.

Radit mencoba memisahkan kami, tapi kemarahanku langsung berpindah ke Radit. Aku dorong dia hingga dia jatuh tersungkur, lalu aku tampar muka dia sekuat tenangaku sambil bercucuran air mata. Aku tidak tahan melihat kejadian ini, setelah lelah aku pun terduduk dan menunduk sambil tetap menangis tersedu-sedu. Aku tidak menyangka sama sekali Radit tega sejahat itu terhadapku.

Merasa sangat bersalah, wanita itu meminta maaf kepadaku. Tidak ku jawab, hanya ku pandang dengan tatapan sinis lewat sudut mata. Dia tetap meminta maaf kepadaku sambil mencium-ciumi tanganku dengan berderai air mata, lalu aku dorong tubuhnya pelan karena tenagaku sudah habis terkuras untuk mengeluarkan amarahku tadi.

Radit mengajakku untuk pergi dari tempat itu, dengan lemas aku pun berjalan mengikuti Radit untuk naik ke motor dan pulang ke kos-kosan kami. Sepanjang jalan aku hanya diam, sementara Radit berusaha untuk menjelaskan semua yang terjadi. Sesampainya di kos-kosan, aku langsung menuju kasur untuk rebahan karena tubuhku terasa sangat lelah. Radit mengunci pintu lalu menghampiriku dan memintaku untuk membahas masalah yang terjadi.

Plak…!!! Panas terasa di pipi kiriku. Tidak menyangka Radit akan melakukannya lagi, seharusnya aku yang marah tapi kenapa justru dia yang lebih memarahi aku? Membentak, mendorong, dan memukulku berkali-kali. Lengan bajuku robek, berhelai-helai rambutku berserakan di pinggir kasur, darah segar mengucur perlahan dari sudut bibirku. Perih, hanya itu yang kurasakan.

Melihat keadaanku yang sudah babak belur, Radit terlihat merasa bersalah. Dia memelukku, menciumiku, menghapus darah di bibirku, lalu meminta maaf sambil mencium keningku. Aku hanya diam dengan tatapan kosong, karena sudah terlalu lelah dan shock dengan perlakuan kasar Radit terhadapku. Tidak ku jawab permintaan maafnya, hatiku masih sakit. Langsung ku rebahkan tubuhku, menghadap tembok dan membelakangi Radit, mencoba untuk terlelap. Radit mendekapku dari belakang, menciumiku, dan mengajakku untuk berhubungan intim. Setelah itu Radit tidur, sementara aku hanya bisa menangis meratapi nasibku.

Seminggu setelah kejadian itu hubungan kami sempat berantakan dan putus. Radit pulang ke rumah orang tuanya dan tidak pernah sama sekali menghubungiku. Aku sempat pacaran dengan orang lain, anak kampus lain. Hubungan kami hanya berjalan selama satu bulan. Setelah aku putus, Radit kembali menghubungiku, dan akhirnya kami kembali bersama lagi.

“Positif yank”
“Masa sih? Coba di tes pake yang satu lagi!”
“…”
“Tetap sama hasilnya, ‘positif’ yank”

Sudah satu bulan aku telat haid. Bingung dan tidak tau harus melakukan apa. Kami memang sudah menikah, tetapi menyembunyikannya dari keluarga kami. Aku telah meminum berbagai macam jamu pelancar datang bulan, nihil. Aku sudah memukul-mukul perutku, lompat-lompat, berharap bisa keguguran. Tetap tidak ada hasilnya.

Suatu sore saat aku sedang menonton tv di kos-kosan bersama Radit, mantanku yang anak kampus lain itu sms.

Sore beby, lagi apa km? aku kangen km beb…udah beberapa hari ini aku kepikiran km, pasti km lagi kangen sama aku ya??? Hehehe… beb, aku mau kita balikan lagi, aku masih sayang sama km. aku mau kita jalan-jalan lagi ke Bandung cuma berdua kaya kemarin… aku harap perasaan km sama kaya yang aku rasain…

Mampus aku!!! Mantan aku yang anak lain kampus sms, dan yang buka pertama Radit!

“Ngajak balikan tuh!”
“Apaan sih kamu yank…”
“Ngapain kamu berduaan sama dia ke Bandung? Kemananya???”
“Cuma jalan-jalan ke Kawah Putih sama Ciwidey aja kok”
“Pake nginep segala kan?”
“Cuma malemnya doang kok, paginya juga udah pulang lagi”

Plaaaakkk!!!

“Kenapa sih yank? Itu kan waktu kita putus”
“Ngapain aja lu disana?”
“Kita nggak ngapa-ngapain kok, nggak yang macem-macem”
“Aaahh… bullshit lu!!! Lu ngelakuin “itu” kan sama dia??? Jujur sama gue!!!”
“Nggak yank, sumpah aku nggak ngelakuin “itu” sama dia”
“Nggak percaya gue sama lu, dasar cewe murahan!!!”

Radit langsung pergi meninggalkanku sendirian di kos-kosan. Beberapa menit kemudian dia sms, dia tetap tidak percaya kalau aku tidak melakukan apa-apa dengan mantanku itu. Dia terus sms dengan kata-kata kasar, dan yang bikin aku sakit hati, dia mengira anak yang aku kandung ini bukan anak dia. Dia mengira ini adalah anak mantanku. Sesak sekali rasanya dadaku ini, aku menangis sampai tidak ada suaranya. Sudah ku jelaskan bahwa ini anak dia, tapi dia tetap tidak percaya dan malah menyuruhku untuk mengejar mantanku dan meminta pertanggungjawabannya.

Tidak akan pernah aku mengejar mantanku untuk meminta pertanggungjawabannya, karena aku memang tidak melakukan apa-apa dengan dia. Sudah berapa kalipun aku jelaskan kepada Radit, dia tetap tidak percaya. Dia menyuruhku untuk pergi jauh dari hidupnya, dan dia sudah tidak mau tau lagi tentang aku dan bayi ini.

Beberapa hari kemudian Radit sms aku, dia bilang aku harus memberikan bukti yang konkrit bahwa bayi yang aku kandung ini adalah anak dia. Dia menyarankanku untuk tes DNA, dan dia menyuruhku untuk mengurus tes itu sendiri, kalau sudah dapat hasilnya baru kasih kabar dia.

Dari artikel yang ku baca, untuk tes DNA janin itu dibutuhkan dana 7,5 juta. Uang dari mana sebanyak itu? Radit sudah tidak mau lagi membantuku. Tidak tau harus berbuat apalagi, hanya menangis, menangis, dan menangis yang bisa ku lakukan setiap hari. Sempat ingin mengakhiri hidup, tetapi aku teringat kedua orang tuaku dan membatalkannya.

Aku berpikir, daripada uang untuk tes DNA lebih baik aku pakai untuk menggugurkan kandunganku. Tidak peduli lagi dengan kepercayaan Radit, mau seperti apapun ku jelaskan dia tetap tidak percaya. Perutku semakin hari semakin membesar, aku takut ketahuan keluargaku.

Aku searching tentang obat untuk menggugurkan kandungan, setelah beberapa artikel yang ku baca akhirnya aku menemukan sebuah artikel yang menceritakan tentang ketidaksengajaan ibu hamil yang meminum obat dan mengakibatkan kandungannya keguguran.

Setelah aku catat nama obat tersebut, aku searching untuk mengetahui khasiat dan efek samping obat itu. Ternyata itu adalah sebuah obat maag yang berdosis sangat tinggi, sangat keras yang dipantau penjualannya dan harus menggunakan resep dokter untuk mendapatkan obat tersebut.

Aku mencoba beranikan diri membeli di apotek tanpa menggunakan resep dari dokter. Apotek pertama gagal, baru ku sebutkan nama obat itu, dengan muka jutek mbak-mbak penjaganya bilang di apotek tersebut tidak menjual obat itu. Apotek kedua gagal, sama kejadiannya dengan yang pertama. Apotek ketiga, keempat, kelima, nihil. Di apotek keenam penjaganya menyuruhku untuk membawa resep dokter, tapi aku tidak tau dokter mana yang mau memberikan resep untukku. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam saat aku keluar dari apotek yang terakhir. Sudah sangat lelah, aku berniat untuk pulang ke kos-kosan saja. Ku nyalakan Vario pink-ku, ku arahkan menuju kos-kosan.

Pagi yang cerah, sangat bagus untuk melakukan aktivitas dan bersemangat. Sayangnya tidak bagiku! Harusnya aku kuliah pukul 8, tetapi aku membolos dan berniat mencari obat itu lagi. Segera ku ambil handuk cokelatku dan langsung mandi secepat-cepatnya untuk segera mencari obat itu lagi.

Seperti biasa, Vario pink-ku menemani kemana pun aku pergi. Tapi tidak tau tujuannya, yang aku pikirkan hanya segera menemukan apotek dan membeli obat itu. Aku berhenti di sebuah apotek di pasar, langsung saja ku sebutkan nama obat itu.

“Mau beli berapa?”
“Satu berapa harganya mbak?”
“30 ribu”
“Yaudah beli empat aja mbak”

Tidak menyangka, dengan mudahnya mbak-mbak tersebut memberikan obat itu begitu saja, tanpa muka jutek dan harus dengan resep dokter. Dengan gembira aku mengendarai motorku menuju kos-kosan untuk segera menggunakan obat itu.

Sesampainya di kos-kosan, aku ganti baju dengan kaos yang sudah belel supaya lebih nyaman, dan celana basket hitam-oranye selutut. Jantungku berdetak lebih cepat, keringat dingin membasahi pelipisku, dan perutku terasa mulas. Aku takut terjadi apa-apa denganku setelah menggugurkan kandunganku. Karena aku melakukan ini hanya sendirian, tanpa seorang pun tau, termasuk Radit.

Setelah beberapa menit hanya memandang obat bulat berwarna putih tersebut, akhirnya aku memberanikan diri untuk meminumnya. Dua butir langsung ku telan. Setelah satu jam, tidak ada reaksi apapun dari obat tersebut. Padahal yang diceritakan di artikel, obat itu bereaksi setelah satu jam. Dua jam, empat jam, enam jam dan tujuh jam sudah aku meminum obat itu tetapi tetap tidak ada reaksi apapun.

Mulai putus asa. Karena terlalu lama, akhirnya aku sampai lupa dan sempat tertidur. Satu jam kemudian, tepat pukul 5 sore tiba-tiba sesuatu keluar dari ms.V-ku. Cairan seperti air keluar sangat banyak, aku panik dan langsung buka celana menuju kamar mandi. Setelah aku jongkok untuk menyiram ms.V-ku, darah segar keluar dan perutku mulai terasa sangat sakit. Sekitar dua menit darah itu terus mengalir, membuat kamar mandiku sangat berbau amis. Sambil menangis, ku siram terus-menerus darah yang keluar.

Aku sangat takut, aku tidak pernah mengalami ini sebelumnya. Darah pun berhenti mengalir, segera ku bersihkan tubuhku lalu berniat kembali ke tempat tidur. Baru keluar dari pintu kamar mandi, darah keluar lagi. Celana ku bersimbah darah, ku lepas dan segera masuk kamar mandi untuk membersihkannya lagi. Saat aku membasuh ms.V-ku, sesuatu keluar dari ms.V-ku. Ku raba-raba, semakin lama semakin besar yang keluar, setelah ku lihat ternyata itu adalah sebuah kaki! Kaki bayiku… tangisku makin kencang, aku sangat takut. Aku sendirian menghadapi ini.

Perutku semakin terasa mulas, dan tangisku pun makin keras menyeruak ke kamar kos-kosan. Aku tidak peduli dengan tetangga kos-kosanku berpikir apa, yang terpenting adalah perutku sangat sakit dan aku tidak sanggup menahannya. Aku menangis tersedu-sedu, tidak kuat menahan sakitnya. Baru tersadar olehku betapa tersiksanya orang yang melahirkan. Lalu aku mengikuti cara ibu-ibu melahirkan yang ku lihat di sinetron-sinetron. Aku ngeden sekuat tenagaku, setiap aku ngeden bayiku keluar sedikit demi sedikit. Aku terus ngeden sambil tetap menangis. Aku sungguh tidak kuat lagi, badanku lemas, kaki gemetar, aku sangat kelelahan. Tetapi aku terus melanjutkannya, tinggal setengah lagi bayiku benar-benar keluar.

Setelah menarik nafas panjang, aku kerahkan seluruh sisa tenagaku. Aku ngeden sekuat-kuatnya, bayiku keluar bersama ari-arinya! Wajahnya tepat menghadap ke arahku, sungguh tampan anakku. Bayiku berjenis kelamin laki-laki. Wajah tanpa dosanya membuat tangisku makin kencang, ku pegang tubuhnya yang masih sangat merah dan berlumuran darah. Tulang-tulangnya sudah terbentuk hampir sempurna tetapi masih lembek, jari-jari kaki dan tangannya sudah terbentuk tetapi belum terpisah. Tali pusarnya melilit di bagian kaki kirinya, segera ku lepaskan.

Aku adalah seorang ibu yang paling jahat, tega membunuh buah hatinya sendiri. Aku menangis sambil memegang bayiku selama beberapa menit. Sungguh tidak tega untuk melepaskannya. Darah terus mengalir membanjiri kamar mandi, badanku terasa sangat lemas. Ku balut bayiku dengan baju kotor, lalu ku letakan dekat ember besar, sementara aku terus menyiram darah yang sudah sangat banyak.

Setelah tubuhku dan kamar mandi sudah bersih, aku segera berpakaian bersih dan memasang pembalut untuk menyerap darah yang masih keluar dari ms.V-ku. Aku langsung mengambil minum, setelah itu langsung merebahkan tubuhku di kasur busa. Aku membenamkan wajahku di bantal dan menangis sejadi-jadinya.

Beberapa menit kemudian terdengar suara pintu kamarku di ketok-ketok. Setelah ku buka ternyata Radit. Dia bilang dari semalam kepikiran aku terus dan firasatnya tidak enak. Mendengar ucapannya aku langsung menangis dan memeluknya sangat kencang. Ku ceritakan yang baru saja terjadi, dia kaget dan ikut menangis sambil memelukku. Lalu dia ke kamar mandi untuk melihat bayi kita, tangisnya makin kencang dan badangnya berguncang hebat. Setelah dia melihat, dia baru mengakui kalau itu adalah anaknya. Mungkin ada ikatan batin antara dia dan bayi ini.

Kami berdua kembali ke tempat tidur, duduk bersandar di tembok sambil berpelukkan dan menangis bersama. Radit memikirkan tempat untuk menguburkan bayi ini, akhirnya kami sepakat untuk menguburkannya di halaman rumah Radit. Pukul 9 malam Radit pulang dan membawa bayi kami untuk segera dikuburkan. Sementara aku menunggu di kos-kosan sambil terus menangis sepanjang malam dan membaca doa untuk anakku.

Ku lihat mata Ines sudah berkaca-kaca mendengar ceritaku, aku sendiri dari awal bercerita sudah menangis. Ku seka air mataku lalu aku mencoba untuk tetap tersenyum di depan temanku ini.

“Udah ah, jadi sedih-sedihan gini sih. Hahaha…”
“Sumpah ya, gue salut sama lu. Lu bisa ngelewatin semua itu sendirian”
“Haha, ya waktu itu gue kan ga tau lagi harus berbuat apa dan kalo ga secepatnya bisa berabe”

Setelah ngobrol ngalor-ngidul sama Ines, kami mulai sibuk memainkan hape masing-masing.

“Eh, beli maicih yuk… lagi gentayangan di depan Mandala tuh. Gue pengen beli yang level 10 ah”
“Ayo Nes, gue juga penasaran!”

4 comments:

zaman zamannya maicih dulu :-)

hahha iya banget .taun kemaren kan ini dpostingnya

mengharukan bgt kak crita'y,,,,,g skedar b'kaca2 tpi q mpe nangis bombay.hehehe

Hahaha serius pita? Hehe makasih ya udah baca :)

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More