Sabtu, 30 April 2011

BUKAN GEPENG BIASA


Tahun demi tahun jumlah gelandangan dan pengemis (gepeng) di Bekasi makin bertambah. Hingga kini  tidak ada solusi yang tepat untuk mengatasi hal itu. Gepeng tersebut hampir tersebar di seluruh wilayah Kota Bekasi, apalagi paling banyak berada di Wilayah Bekasi Timur misalnya saja Daerah Rawa Panjang dan Bantar Gebang. Kehidupan gepeng di Bekasi sendiri dapat ditabulasi dalam beberapa  jenis. Pertama, ada gepeng yang bekerja di sektor informal seperti  mengamen, sebagai buruh dan asongan, kedua hidup menggelandang sebagai tunasosial, ketiga menjadi pengemis, keempat sebagai joki three in one dan tunasusila dan sisa lainnya tidak jelas. Melihat hal itu maka gepeng menjadi masalah yang harus  ditangani secara serius di lapangan. Tetapi cara penanganan gepeng yang terkesan masih menggunakan cara-cara  konvensional seperti penertiban oleh aparat Tramtib yang terkadang  terkesan berlebihan, dalam sejumlah kasus bahkan dengan tindakan  brutal. Tapi, toh upaya mengatasi gepeng tetap tidak membuahkan hasil malah operasi penertiban yang dilakukan aparat  Tramtib Bekasi cukup efektif mengurangi maraknya para gepeng di  tempat-tempat umum meski caranya tidak manusiawi. Tetapi cara seperti itu  tidak membuat para gepeng meninggalkan aktivitasnya.

penipuan dan kisah kasih di jejaring sosial


Hay semua saya ingin berbagi pengalaman saya tentang jejaring sosial yang sudah tidak asing buat kita seperti friendster,facebook,twitter,dan masih banyak lagi .. tp saya disini akan bercerita tentang jejaring facebook ..


dimana facebook ini dibikin setelah friendster … dan kebanyakan kumpulan para remaja/dewasa
  lebih nyaman memakai facebook disbanding friendster.. karena di facebook kita bisa wall to wall ( dinding ke dingding ) atau kita bisa lebih banyak meng - uploud  foto lebih banyak dan bisa juga kita melakukan chatting dan sebagainya lah …

Kisah Yang Singkat

Terakhir 15 tahun yang lalu aku pulang kampung. Aku sudah lupa dengan suasana sana, samar-samar pun juga tidak ingat. Aku memberanikan diri untuk ke Padang hari kamis tidak dengan ibuku, melainkan dengan pamanku saja. Apa salahnya mencoba.

Sedikit untuk refreshing dengan keadaan kota yang menjenuhkan. Di benakku sudah terbesit suasana kampung yang ku rindukan. Di setiap perjalanan ku menikmatinya. Menyebrangi laut selat sunda dengan kapal, udaranya sangat dingin apalgi dengan ombak membuat kepalaku pusing. Keindahan kota lampung sudah terlihat di malam hari. Hanya diterangi lampu-lampu jalan. Banyak area pabrik dan juga hutan dan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Perjalanan di lampung tidak sebentar dibutuhkan waktu sehari untuk melewati kota lampung. Lampung barat, selatan dan utara.


Plat Mobil B

April, satu tahun lalu. Dinginnya hembusan AC di mobil membuat badan ku menggigil dan perut ku semakin mulas. Ternyata bukan aku saja yang merasakannya, adikku dan teman-temannya pun juga. Tol Padalarang Barat cukup lenggang dan Buah Batu Bandung masih setengah jam lagi, kegelisahan kami pun bertambah.


Rabu, 27 April 2011

Tanda Silang Pedagang Tahu Keliling

Terik terasa menyengat menembus genting rumah, atau Ia menyelinap diam-diam tanpa permisi melewati celah-celah ya? Pikirku . Penasaran ku mengendap menghampiri garden dan melongok di sela-sela tirai yang terjuntai.


“ Tak ada yang aneh akh, suasana diluar pekarangan rumah masih seperti biasa kok,” tak mau kalah hati saya pun bergumam. Masih tetap sama penuh dengan tanam-tanaman suplir, rumput dan bunga-bunga kertas milik Bunda yang menghijau namun tetap tak meneduhkan ke dalam isi rumah yang saya pijaki.
Lagi-lagi pikiran saya  semakin heran, terpaksa saya lengkingkan suara agak keras agar terdengar seisi rumah.
“ Bun, gordennya sengaja ya di tutup siang-siang?” Tanpa ragu saya bertanya.
“Iya De, terik hari ini begitu menyengat dan silau sekali, makanya Bunda tutup saja, lagian tidak akan ada tamu hari ini.” Suara bunda yang begitu yakin dan terdengar sayup-sayup dari kejauhan kamarnya yang terhalang ruangan tamu.
“owhhh….” hanya kata itu yang pas mewakili semua keheranan yang saya pertanyakan.
            Siang ini tepatnya 12.45 WIB, awal pekan yang hambar bagi saya, terasa malas sekali badan ini tuk melakukan aktivitas, terlebih lagi tidak ada jadwal kuliah hari senin, daripada saya pusing berpikir ingin melakukan apa, saya ikat sebelah tirai biru muda yang menjuntai indah begitu sembarang pada tempatnya.
“Sreeeek,” terdengar lingkaran besi pengait dan besi penopang saling bergesekan.
            Tak ragu saya pun merebahkan badan sejenak diatas sofa, ada apa dengan saya ? itu pertanyaan yang berulang-ulang saya ucapkan namun tak memiliki jawabannya.
“akhhhh,” desahan pelan jeritan hati saya pun tak tahu apa sebenarnya yang membuat saya begitu tak nyaman siang ini. Saya tutup bantal saja wajah dengan harapan terlelap di cuaca siang yang tak menentu .
            Beberapa menit kemudian terdengar sayup-sayup dari kejauhan, semakin dekat dan terus-menerus semakin keras menghampiri.
“Tahuuuu,, tahuuuu,, tahuuuuu,” suaranya keras dan nyaring, sesekali terdengar bunyi,
“Kring,, kring..” suara bel sepeda pada umumnya.  Saya beranjak  bangun dan tergesa-gesa menghampiri gagang pintu dan melongok dari balik pintu.
“ Beli bu, tunggu ya.” Saya percepat langkah menghampri gerbang sejauh sepuluh meter dari pintu yang telah terbuka. Mata ini semakin lama semakin jelas mengamati, tiba-tiba saya terperangah dan bertanya.
“ Tahu gejrot bukan Bu?” Tanpa ragu pertanyaan itu menyambar saja bak petasan menyambar setelah sumbunya dinyalakan api.
“ Bukan nenk, ini tahu cina, untuk di masak,” begitu jawaban santunnya.
            Sekilas saya amati sesosok ibu berumur 50-an dengan rambut putih yang hampir memenuhi seluruh bagian atas kepalanya, kerutan-kerutan yang begitu nyata menghiasi wajahnya, sesekali menyunggingkan senyum yang semakin menampakkan kerutan di pangkal matanya, betapa tuanya Ia masih mencari nafkah di usianya yang sudah tak muda lagi. Saya sangat teralihkan pada keringatnya bagai air bah yang bercucuran memenuhi dahi turun ke lehernya begitu deras, sungguh  menandakan betapa terik sekali siang ini. Tak luput dari perhatian saya adalah teman setianya, walau mengangkut beban begitu berat Ia tetap kokoh menemani sang empunya berkeliling-keliling, dalam suasana panas mencari seonggok untung yang tak seberapa besar namun mampu memenuhi sebagian kebutuhannya, ya dialah sepedanya.
“Boleh ngobrol sedikit Bu? tapi ibu jangan khawatir, saya beli dagangan ibu juga ya,” perlahan tapi pasti itulah pertanyaan yang pertama saya lontarkan.
“Tenang aja nenk nggak apa-apa kok,” Ia berusaha meyakinkan memang saya tidak mengganggu dirinya berjualan.
“ Oia, nama Ibu siapa? Lalu berjualan tahu ini sudah lama?”
“Nama saya Surti, alhamdulilah sudah 2 tahun nenk.” Sekilas Ia menerawang berusaha mengingat apa yang diucapkannya.
“ Harga satuannya berapa Bu? Dan biasanya sehari ibu laku berapa menjual tahu cinanya ?”
“ Harga satuannya Rp 3500, Alhamdulillah juga ya nenk, setiap hari selalu habis 50 tahu cina sehari.”
“ Berarti pendapatan ibu sehari Rp 175.000,00 ribu perhari ya? Tahunya ibu buat sendiri atau membeli dari orang?”
“Ya segituan nenk, nggak , ini ibu dapat langsung dari pabriknya, kebetulan suami ibu kerja di pabrik tahunya, ibu bantu-bantu jualan kayak gini aja , kalau dari sini gak jauh-jauh amat nenk, pabriknya di Desa Sukadanau Kp Tangsi, nama Pabriknya Tahu Purnama.”
“Lihat kondisi seperti ini apa ibu tidak lelah ya mendayuh-dayuh pedal sepeda dengan beban tahu cina sebanyak lima puluh biji,  satu tahu hampir setengah kilo lho Bu,” tak ragu saya ambil satu biji tahu cina dan menimang-nimangnya.
“Sudah terbiasa nenk, kadang Ibu jualannya dua balik muter dua perumahan berbeda dalam sehari, maklum nenk Ibu punya lima anak dan masih punya anak bungsu yang sekolah kelas 6 di SD Sukadanau sana.”
“Boleh tahu harga dari pabriknya berapa Bu? Saya kagum kepada Ibu yang tak kenal lelah demi keluarga. Saya ingin berkunjung ke pabrik boleh tidak ya Bu? Saya beli  empat biji ya Bu tahunya.”
“ Sekitar tiga ribuan, iya nenk silahkan aja, boleh nenk boleh.”
       Bu Surti begitu cekatan mengambil tahu cina setiap buahnya di masukan ke dalam plastik bening seukuran besar tahu cina dan memasukkan ke dalam kantong kresek hitam satu demi satu sebagai tanda sudah selesai pengemasan yang dilakukannya.  Saya rogoh saku mengambil uang sepuluhan dan lima ribuan.
“Ibu makasih banyak ya waktunya, terima kasih mau ngobrol-ngobrol sebentar, mau masuk dulu main ke rumah saya?”
“Tidak usah nenk, nanti ibu nggak jualan donk?” Sedikit terkekeh Ia mengakhiri obrolan siang yang ditengah terik depan rumah saya pada hari senin, 25 April 2011 ini.
       Saya acungkan setinggi wajah kantong plastik berisi tahu cina sejenak, sungguh wanita tangguh, tak kenal lelah di usianya yang semakin senja, saya semakin penasaran tentang kehidupan dan keluarganya.
       Ada yang ingin begitu saya ketahui tanpa bertanya pada Bu Surti langsung tentang sesayat luka berbentuk silang dipipi kirinya. Sama seperti tanda di drum kecil wadah tahunya.
       28 April 2011 saya mencoba mencari pabrik Tahu Purnama, ternyata tidak sulit, seperti sebuah keberuntungan berpapasan langsung dengan Bu Surti dari arah yang berbeda. Ia berhenti mengayuh sepedanya, lalu menyapa.
“ Nenk, jadi yaa kesini?”
“ Iya Bu, tapi saya hanya lewat saja dulu, saya siang ini ada kuliah pukul 13.00 WIB terlebih dahulu, kapan-kapan saya mampir ya. Masih bolehkan ya Bu?” kusunggingkan senyum sebagai tanda memohon.
“Ohhhh, iya nenk iya, hati-hati aja ya.”
“iya Bu terima kasih.”
            Saya perhatikan sejenak tanda silang diwajahnya, setelah berbalik badan saya perhatikan tanda silang pada drum kecil tempat tahu Ibu Surti. Tak hilang akal , ada seorang satpam yang menjaga pintu gerbang pabrik tahu ini. Maka, saya bertanya sambil menunjuk tangan kea rah punggung Bu Surti.
“Maaf pak, boleh bertanya? Bapak kenal ibu itu?”
“Ohhhh, Bu Surti? Kenal, kenapa ya Mba?”
“Tanda silang di pipinya kenapa ya? Mengapa sama dengan tanda silang di drum kecil tahunya ya Pak?”
“Jadi gini nenk, waktu itu Bu Surti berniat mau memberi tanda pada drumnya, karena dari besi kan harus dipanasin dulu, pas besi tanda silang nya udah merah mau di tempelin ke drum, Bu Surti kesandung terus jatuh, tapi posisi jatuh si besi panas itu ketiban sama pipinya.”
“Astagfirullah, kasian sekali ya Bu Surti.”
“ Iya ne mba kasian banget.”
“Terima kasih informasinya, saya permisi ya Pak.”
         Sepanjang perjalanan saya ingat wajah Bu Surti, banyak sekali dari sikapnya yang perlu dicontoh, kemauannya, kerja kerasnya, semangatnya, semua ada pada dirinya. Sejak saat itu saya semakin menghargai betapa indahnya hidup ini. Harus banyak bersyukur atas apa yang telah kita miliki.
                                    ***

Punk It’s My Life


            Asap mengebul hitam pekat didepan wajahku , suasana sore yang sangat tidak menyenangkan . Saat itu aku sedang berada di Perempatan wanaherang , jalan ini berada diantara perbatasan Cibinong dan Gunung Putri , karena perbatasan maka tiap sore jalanan ini macet karena banyaknya karyawan dan anak sekolah yang pulang .



Selasa, 26 April 2011

Tanggal Tua Turun ke Jalan


Awan yang cerah diselimuti dengan birunya langit telah menghiasi Kota Bekasi Timur.  Alam yang tenang itu menuntun langkah kaki Saya (20 tahun) dan teman kampus Saya yang bernama Ayu Tirta Buana (19 tahun ), Puri Yunari Anggie (19 tahun) dan Dian Crismi Rahayu (19 tahun)  untuk menuju ke istana kami.


Setelah mata kuliah kewirausahaan kami pulang bersama – sama. Dengan semangat yang membara, Saya pun segera bergegas untuk meninggalkan kampus. Setelah Saya beranjak meninggalkan kampus, dari kejauhan Saya melihat segerombol orang mengenakan pakaian hijau – hijau. Saya pikir sedang ada kampanye partai, setelah  Saya jalan melewati segerombolan orang-orang itu, dan ternyata mereka adalah polisi yang sedang mengadakan razia. Dengan santainya Saya terus jalan tetapi apa mau dikata dewi fortuna tidak berpihak pada Saya.  

"PACARAN, YUK!"

Di sore yang kelabu, awan mendung menggelayuti langit. Terlihat wajah-wajah yang gelisah. Mereka sesekali melongok ke luar jendela. Mengharap sosok yang mereka tunggu muncul. Wajah-wajah itu terlihat cukup bosan. Terlalu lama menunggu.
“Mana nih Pak Idham? Lama amat sih!”, celetuk salah seorang dari mereka. Raut wajahnya terlihat tidak sabar. Kepalanya yang agak botak ia elus berkali-kali. Mungkin jika punya rambut, dia sudah menjambak rambut yang ada di kepalanya itu. Galau. Dia lah ketua kelas. Namanya Agung, berumur 21 tahun. Kulitnya kecoklatan, suaranya cukup berat. Suara yang cukup memiliki wibawa sebagai seorang pemimpin.

Agung terlihat gelisah menanti dosennya datang. Melihat teman-temannya berisik, dia semakin galau.

Senin, 25 April 2011

Mengejar Tugas Di Siang Hari, ”karena” Handphone Dan Dampaknya



Oleh : Meymila Syifa Isnu

”Akhirnya kuliah hari ini selesai juga”, ucap ku dalam hati.

Setelah selesai perkuliahan hari ini, aku memang sudah berniat untuk mengerjakan salah satu tugas kuliah ku di mata kuliah Produksi Siaran Radio yang mengharuskan aku mewawancarai beberapa orang sebagai narasumberku. Aku mengambil tema ”Dampak Maraknya Handphone”. Walaupun waktu mengumpulkan tugas masih satu minggu lagi, tapi masih banyak proses yang harus dilewati, setelah wawancara lalu direkam di lab radio kampus lalu diedit dengan menggunakan software Cool edit pro.


”hari ini aku harus wawancara, pokoknya harus dapat”, pikir ku

Zart Vegay De Rusiano : Atlet Muda Di Sepatu Roda



Oleh : H.N. Lintang Tri Hapsari

Siang hari yang cukup menguras emosi, bulan Ramadhan ketika itu saya ditugaskan untuk mewawancarai seseorang yang belum saya kenal sebelumnya. Dialah atlet in-line skate (sepatu roda-red) yang merupakan Mahasiswa angkatan 2009 Jurusan Penjaskesrek Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan Universitas Islam 45 (UNISMA) Bekasi. Zart Vegay Derusiano namanya tidak lazim seperti kebanyakan orang Indonesia.




“Pasti dia orang bule deh.. gak kebayang wajah indonya, nama panggilannya apa ya ?” pikir saya.


 “Hallo mas.. saya tunggu di gedung B ya siang ini,” telepon saya.

“Aduh mesti sekarang ya ? kalau besok aja gimana?” balasnya.

Minggu, 24 April 2011

Penyesalan Si Buta Huruf


Siang hari ini rasanya matahari begitu dekat panasnya seakan membakar kulit, di atas gedung – gedung setengah jadi itu terlihat sekumpulan pria berbadan kekar namun penuh keringat dengan pakaian yang lusuh dan sebagian lagi bahkan bertelanjang dada. Di lemparnya serpihan-serpihan genting berwarna coklat itu dari pekerja yang berada di bawah kepada pekerja di atas. Tanpa pengaman tubuh, mereka tidak pula menjadi resah.


Saat itu saya sedang menuju perjalanan pulang dari kampus dengan mengendarai sepeda motor kecepatan 20km/jam perlahan saya melihat diantara para kuli bangunan itu ada sosok yang sangat saya kenal, kamal pria 18th ini adalah paman  saya atau lebih tepatnya “mamang” begitulah pangilan untuknya karna saya dan dia memang orang betawi yang asli bekasi. meskipun usia saya dua tahun lebih tua darinya namun karna sang ibu dari  kamal adalah adik nenek saya jadi dia di anggap lebih tua , lahir dan besar di bekasi, namun nasibnya tak seberuntung saya yang bisa sampai kejenjang kuliah, sempat mencicipi Sekolah Dasar namun langkahnya tersendak di tengah jalan.
Melihat begitu berat kerja kerasnya sekarang demi kelangsungan hidup, sejenak saya terkenang akan memori di masa kecil saat saya dan kamal masih anak-anak, Kamaluddin adalah nama lengkapnya namun temannya sering memanggilnya “Kemel”. Dari kecil dia memang sudah nakal, semasa Sekolah Dasar saja dia sering bolos sekolah bersembunyi di bawah pohon pisang belakang sekolah, Ersi orang tua nya yang hanya bekerja sebagai kuli cuci pun sudah lelah menasehatinya untuk rajin belajar, sampai akhirnya dia memilih untuk berhenti sekolah di kelas 2 SD.
Setelah berhenti sekolah kegiatannya hanya main dan main, pernah Ersi sang ibu menceritakan kepada saya, sesekali terlihat Kamal malah asik memukulkan benda yang terbuat dari bekas tutup botol yang di paku pada sebatang kayu sambil membawa bekas bungkus permen dengan riang dia mengitari kompleks perumahan yang tidak jauh dari perkampungan tempat dia tinggal, disaat sedang asik bernyanyi di depan pagar rumah mewah datanglah seorang wanita menuju pagar sambil memegang selembar uang berwarna merah 100 rupiah, namun mata Kamal malah melotot dengan mulut menganga, sayangnya dia bukan kaget dengan uang itu tetapi kaget karna orang yang bermaksud memberinya uang adalah Ersi ibunya sendiri, si Ibu pun sama kagetnya dengan kamal, mengetahui kegiatan anaknya, ibunya pun kesal dan melarangnya untuk mengamen, sayangnya hal itu hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Dari arah barat matahari nampak tenggelam kini panasnya matahari tadi siang di gantikan cahaya rembulan  yang menemani dinginnya malam setelah hujan di sorenya, seperti biasa sepulang kuliah saya menjaga warung kelontong milik keluaga. Sambil menunggu pembeli saya duduk di kursi yang terbuat dari bambu yang terletak di depan warung, sesat kemudian muncul sosok pria berkulit hitam, berambut ikal, tingginya sekitar 170cm, mengenakan celana jeans pendek dan berkaos merah sosok yang sama saya lihat siang tadi sepulang kuliah, iya dia kamal tapi kali ini dia terlihat lebih segar dan bersih ketimbang siang tadi mungkin karna dia sudah mandi, sesampainya di warung saya pun beranjak dari duduk untuk menghampirinya, dia membeli 2 batang rokok kemudian duduk di kursi bambu tempat saya duduk tadi saya pun kembali duduk di kursi bambu yang cukup panjang itu , tiba-tiba terdengar bunyi handphone dari saku celananya “teng….…tereng..” di keluarkannya handphone CDMA berwarna orange berbentuk slim dengan layar kecil ukuran  4,45 x 10,8 x 1,29 cm. Rupanya ada SMS masuk, belum sempat membuka pesan tersebut raut mukanya terlihat kemerah-merahan tampak malu kamal mengulurkan tanagannya lalu memberikan handphonenya kepada saya, dan meminta saya untuk membacakan isi pesan tersebut, rupanya pesan tersebut datang dari kekasihnya, karna di kontak pun tertulis nama “nita syg”. Saya menatap heran kearahnya dengan mengernyitkan dahi, kenapa dia tidak buka sendiri sms ini?
 Melihat ekspresi saya tanpa menunggu saya bertanya dia berkata,
 “gue kan kaga bisa baca”.
Dengan sigap saya pun langsung membacakan pesan dari nita sang pacar, selesai membacanya, dia pun kembali meminta tolong, dan berkata
“ sekalian ya balesin smsnya, gue ga ngerti, gue lagi kaga ada pulsa buat nelpon!”
Saya pun hanya tersenyum, sambil jari jemari saya sibuk menekan tombol-tombol handphone sambil sesekali mendengarkan perkataan yang dia ingikan untuk SMS balasan.
Pantas saja jika selama ini saya melihat dia lebih sering menempelkan handphone di telinganya ketimbang memetikan jari di atas tombol-tombol handphone, dan selama ini nita tidak tahu bahwasanya kamal sang pacar tidak bisa baca tulis alias buta huruf, kalaupun ada SMS kamal  minta bantuan temannya atau terpaksa meminnta rangga adiknya yang duduk di kelas 5SD untuk membacakannya atau bahkan membalas sms-sms tersebut. Berat rasanya menerima kenyataan kini adiknya lebih pintar di banding dia. Penyesalan memang selalu datang belakangan, itu yang ia rasakan saat ini,
“ coba aja dulu gue rajin sekolah, ga gini jadinya”.
Itu lah kata-kata yang di ucapkan dia selesai saya bacakan sms dari kekasihnya.
Ceritanya lagi setelah mengirim sms kepada Nita, Pernah suatu kejadian temannya menulis sebuah syair lagu dan memintanya untuk menyanyikannya bersama. Seperti biasa dengan wajah memerah dan mulut yang agak terbata-bata, dia bilang “ gw ga bisa baca”. Dan akhirnya sang teman bernyayi sendiri.
Kamal bilang , tulisan yang dia bisa Cuma menulis namanya yaitu,” K-A-M-A-L”.karna ia Tuna Aksara bukan berarti dia juga buta angka masalah uang dan hitung–menghitung ia cepat, seperti sebelum duduk dibangku warung dia membeli dua batang rokok dengan uang 5.000 rupiah dia tau  jumlah kembaliinya sebesar 3.000 rupiah.
Banyak hal yang di sesalih kamal karna buta huruf. Semisal Saat adiknya di rumah asik bermain dengan komputer dia hanya bisa melihat tanpa tau menggunakannya alias gagap teknologi, pekerjaanya yang bisa di lakukannya hanyalah menjadi kuli bangunan pekerjaan yang sungguh sangat menguras tenaga.
Tidak ada kata terlambat untuk belajar walaupun usianya kini sudah bukan anak-anak lagi tidak ada salahnya untuk kembali belajar membaca dan menulis, meski pepatah mengatakan belajar di waktu kecil bagaikan mengukir dia atas batu sedangkan belajar setelah dewasa bagaikan mengukur di atas air, sekeras apaan kesulitan belajar setelah dewasa dengan tekat dan keinginan yang kuat untu menjadi bisa tidak ada yang tidak mungkin.
Mendengar keluhnya akan buta huruf saya menyarankannya untuk menggambil sekolah kejar paket A, kelihatannya dia tertarik untuk ikut dalam sekolah tersebut meskipun untuk saat ini dia masih berfikir ulang untuk sekolah.

Sefti Dwi Mirantika
41182037080005
Ilmu Komunikasi
rara_ipa3@yahoo.co.id


Sabtu, 23 April 2011

Belum Ada Judul

“Dedi, Kabul, Susana, bawa BPKB-nya trus dibuka biar saya liat namanya”. Suara seorang penjaga loket 1, tempat pengambilan tanda terima di Samsat Kota Bekasi. Beberapa orang yang merasa dipanggil berlari kecil menghampiri loket 1.

“Kapan giliran gw nich”. Sebuah pertanyaan terlintas dalam pikiranku.


Pada 23 April 2011, aku dan ayahku menyempatkan diri memenuhi salah satu kewajiban sebagai warga Indonesia, membayar pajak. Ayahku bernama Nur amri, 50 tahun. Berperawakan tinggi, berambut putih dan sedikit buncit. Giginya pun sudah banyak yang hilang dimakan usia. Namun dia adalah pria yang tertampan dimata saya, anaknya. Beliau lahir di desa kecil bernama Karangjati, tepatnya di kaki Gunung Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Beberapa tahun yang lalu, desa itu masih asri. Namun sekarang, sudah banyak polusi. Ya, mungkin sebagai salah satu akibat dari modernisasi.

Ketika sampai di tujuan, langkah kami tertuju pada sebuah loket yang bertuliskan ‘FORMULIR’.

“Mau apa mbak?”, tanya seorang dibalik kaca loket.

“Minta Formulir mas”. Masih nanya aja nich masnya, padahal udah jelas loket tulisannya Formulir. Datang kesitu, ya mau minta formulir lah. Pernyataan itu tertahan dalam pikiran saya.

2 carik kertas berpindah ketangan saya. Dengan cepat kolom-kolom kosong itu, terisi. Setelah menyelesaikan mengisi formulir, kami menuju lantai 2.

Ish, penuhnya... Mulai dari mana nich ngantrinya?. hal itu yang pertama muncul dalam pikiranku, melihat orang-orang berjubel didepan loket.

Nggak pada bisa ngantri apa nich orang! Berjejer didepan loket, kalo orang mau nyerahin berkas jadi ribet nich. Lagi-lagi umpatan karena kesal melihat orang-orang yang tidak tertib mengalir mulus dalam pikiranku.

Kemudian, ayah mengajakku melewati barisan orang-orang itu. Dengan sedikit sikut-sikutan akhirnya aku sampai dimuka loket 1. Aku disambut oleh seorang satpam yang sibuk menstreples berkas-berkas. “STNK asli sama KTP mbak”, ucapnya padaku, dengan cepat aku mengambil yang dimintanya dari tas.

Tiba-tiba seorang wanita separuh baya, menyerobot masuk dan mendorong-dorong badanku. Wanita itu berbadan pendek dan sedikit gemuk, berbaju dan alas kaki merah. Bukan hanya itu saja yang berwarna merah, lipstik dan gelang yang dipakainya juga berwarna merah. Mencerminkan semangatnya dalam mendorong-dorong badanku.

Santai aja bu, semangat amat. W nich korbannya!. Lagi-lagi sebuah umpatan.

Hampir setengah jam aku menunggu panggilan, tepat pukul 09.28 namaku berkumandang. Aku segera menghampiri sumber suara, sambil memperlihatkan BPKB motorku.

“Siapa namanya, Ayu Tirta Buana”. Ucap pria dibalik loket 1. Ia menyobek secarik kertas sebagai tanda terima.

‘Hindari Calo’,
‘Jika pelayanan kami baik beritahu orang lain, jika pelayanan kami kurang baik beritahu kami’.

Sebuah tulisan besar berlatar biru, menghiasi dinding Samsat Kota Bekasi lantai 2.

Aku merasa persediaan oksigen, diruangan itu hampir habis. Dua kipas angin yang menempel didinding, tidak terasa sama sekali kehadirannya.

Loket 1, 2, dan 3. Saling beradu dalam memanggil nama. Orang-orang jadi tidak jelas dalam mendengar jadi mereka maju ke depan loket. Aku yang sebelumnya mengumpat orang-orang yang berdiri dimuka loket, sekarang malah ikut bergabung disana. Akhirnya aku tahu penyebab orang-orang ini tidak bisa mengantri dengan tertib.

“Ibu Ayu Tirta Buana”. Namaku dipanggil untuk kedua kalinya, kuhampiri loket 2 tempat yang bertuliskan ‘Pembayaran(KASIR)’. Kuserahkan secarik kertas tanda bukti itu, pada seorang ibu penjaga loket 2. Wanita itu menggunakan kacamata, tepat pada ujung hidungnya. Berambut sepundak berbelah tengah tengah.

“dua ratus tujuh puluh lima ribu”. Lah, kata Ayah Cuma 210.000. Pikirku, sedikit bingung.

Ku keluarkan uang pecahan 100.000, 1 lembar; 50.000, 3 lembar; dan 20.000, 2 lembar. Ibu itu langsung mengambil uang yang aku sodorkan dan mengembalikannya 25.000 padaku, berikut tanda bukti pembayaran.

Selesai dari loket 2, aku menghampiri ayahku. Kuberitahu beliau bahwa biaya yang dibayarkan Rp275.000, bukan Rp210.000.

“Hah!! Kok lebih mahal dari punya Enggar!” ucapnya keget.
“Nggak ngerti”, ucapku sambil mengangkat bahu.

Enggar, 23 tahun. Ia adalah Anak pertama dari pasangan Nur Amri dan Sartini. Berperawakan kurus seperti pemakai narkotika, mungkin lebih sering dikenal dengan istilah ‘jangkis’. Berkulit sawo matang, dan berambut tak beraturan.

Sartini, ibu rumah tangga sekaligus bendahara RT 003 Bintara 14 Bekasi. Wanita kelahiran 48 tahun yang lalu ini, mempunyai salah satu keahlian yang sangat membuat saya iri yaitu memasak. Apapun bahan makanan yang beliau olah, selalu menghasilkan cita rasa yang mampu menggoyang lidah. Salah satu favorit saya adalah, ‘Kulit melinjo pedas’. Melinjo bagian kulit diiris-iris dan dimasak dengan ikan teri dan cabai merah. Emm… rasanya mampu membuat nafsu makan aku naik.

Melinjo (Gnetum gnemon Linn) atau dalam bahasa sunda disebut Tangkil, adalah suatu spesies tanaman berbiji terbuka (Gymnospermae) berbentuk pohon yang berasal dari Asia tropik, melanesia, dan Pasifik Barat. Melinjo dikenal pula dengan nama belinjo, mlinjo (bahasa Jawa), tangkil (bahasa Sunda) atau bago (bahasa Melayu dan bahasa Tagalog), Khalet (Bahasa Kamboja). Penelitian yang sudah dilakukan pada melinjo dan menujukkan bahwa melinjo menghasilkan senyawa antioksidan. Di Jepang dilakukan penelitian dan dilaporkan bahwa melinjo termasuk tumbuhan purba yang secara evolusi dekat dengan tanaman Ginkgo biloba yang ada di Jepang. Ginkgo adalah spesies pohon hidup tertua, yang telah tumbuh selama 150-200 juta tahun dan dipercaya sebagai tonik otak karena memperkuat daya ingat. Daun Ginkgo juga punya khasiat, sebagai antioksidan kuat dan berperan penting dalam oksidasi radikal bebas penyebab penuaan dini dan pikun.

Setelah melaporkan jumlah uang yang harus dibayarkan, aku langsung kembali antri. Sekarang antrianku berpindah ke loket 3, tempat pengambilan STNK. Dengan sabarnya aku berdiri didepan orang-orang yang kebagian tempat duduk untuk menunggu.

Diudara yang cukup panas ditambah kipas angin yang tak berfungsi optimal, aku bermandikan keringat. Untungnya kali ini aku tidak harus menunggu lama, namaku di sebut dan hal itu menjadi angin segar bagiku. Aku bisa meninggalkan tempat ini lebih cepat, dan maksimal akan kembali lagi 1 tahun yang akan datang. Ku hampiri penjaga loketnya dan kusodorkan tanda terima yang kuperoleh diawal tadi.

Kuambil STNK yang telah ditaruh oleh penjaga loket itu, dan pergi menghampiri ayahku yang tengah duduk manis diantara para ‘wajib pajak’ yang lain.

Beliau memandangku dengan raut muka heran.

“Coba liat, masa mahal banget!”, ucapnya padaku. Ku perlihatkan STNK yang baru.
“Nah, ini Rp32.000 buat apa??” tanyanya padaku.
“Ya nggak tau lah pak”. Jawabku sedikit kesal. Manaku tau uang itu untuk pembayaran apa!. Lagi-lagi pikiranku menjawab.

Dengan rasa penasaran, ayah bertanya pada seorang pria di sampingnya. Pria ini menggunakan baju garis-garis dengan kumis tipis menghiasi wajahnya.

“Bayaran yang ini buat apa ya??” Tanya ayah sambil menunjuk nominal yang ada di STNK.
“Itu buat kalo telat pak. Ini masa berlakunya sampe tanggal berapa ?” Tanya pria itu.
“Sampai tanggal 25 April!” ayah melihat bagian bawah STNK.
“Lah ini sampai tanggal 20 April”. Ucapan polos terlontar dari bibirnya.
“Nah, bener pak. Ini udah telat jadi bayar sanksi” pria berbaju garis-garis menjelaskan.
“Owh, tanggal 20. Berarti saya salah liat…….”

Belajar Jurnalistik Sastra.
Ayu Tirta Buana
llmu Komunikasi 2009.

Senin, 11 April 2011

Daftar Tugas Penulisan Jurnalistik Sastra 2011

Kuliah ibarat kapal yang layarnya terkembang, andalah nakhodanya
Berikut adalah Daftar Tugas Jurnalistik Sastra yang akan dimuat pada Blog ini, sebagaimana telah dibahas pada Kuliah ke 4 pada 7 April 2011 yang lalu. Judul dan topik reportase bisa anda ubah sendiri dengan melakukan editing pada daftar yang ada di bawah ini :

  1. Endah yang akan menulis cerita masa SMA dari seorang pelajar SMA yang dipilihnya sendiri. Diproyeksikan dari sebuah liputan jurnalistik yang pernah dibuat oleh Endah saat menempuh masa SMA dahulu.
  2. Rika yang akan menulis cerita seorang anak kecil dari seorang anak kecil yang dipilihnya sendiri. Diproyeksikan dari sebuah liputan jurnalistik yang pernah dibuat oleh Rika saat dia kecil dahulu.
  3. Ainur yang akan menulis sebuah kasus kriminalitas di Bekasi berdasarkan perbandingan saat dia menulis kasus Babe untuk kepentingan tugas jurnalistik.
  4. Devi yang akan menulis kisah pembuat gula merah yang pernah ditulisnya dalam sebuah kerja peliputan pada mata kuliah lain.
  5. Novita yang akan menulis anak punk sebagaimana tulisan yang pernah dibuatnya dan akan ditulis ulang dalam bentuk jurnalistik sastra.
  6. Sefti yang akan menulis soal makanan kadaluarsa, dengan cara menulis ulang hasil liputannya terdahulu.
  7. Nuraidah yang akan menulis soal Gepeng di Bekasi berdasarkan liputannya tentang Gepeng alias Gelandangan dan Pengemis yang pernah dibuatnya.
  8. Rita yang akan menulis liputan soal oplosan tabung gas yang pernah ditulisnya dahulu.
  9. Firbie yang akan menulis liputan soal penipuan jejaring sosial yang pernah dialaminya sendiri.
  10. Lintang yang akan menulis profil seorang atlit sepatu roda berprestasi yang pernah diliputnya dahulu.
  11. Mey Mila yang akan menulis kasus Adipura untuk Bekasi yang didasarkan materi liputan terdahulu.
  12. Choirunnisa yang kembali akan menuliskan kembali soal Bebak si Bolang yang unik dan lucu namun kali ini dengan pendekatan ala jurnalistik sastra.
  13. Rina W yang akan menulis pengalamannya berurusan dengan urusan tilang menilang polisi yang pernah pula dituliskannya dalam liputan terdahulu.
  14. Ayu yang akan menulis soal binatang laron yang pernah jadi bahan liputannya.
  15. Rian yang memilih menulis seorang anak broken home yang pernah pula menjadi bahan tulisannya dulu.
  16. Agus yang tergoda untuk menulis soal polisi yang humoris dan menjadi kekaguman banyak orang di lingkungannya,
  17. Evy yang akan menulis pengalamannya di kelas dengan Pak Idham dan teman-temannya


Tom Wolfe dan Jurnalisme Sastra

Septiawan Santana Kurnia
Oleh : Septiawan Santana Kurnia 



TOM WOLFE ketika membaca ”Joe Louis : the King as a Middle-aged Man.” Terpesona. Cerita yang dia baca itu begitu unik. Kisahnya dibuka lewat nada dan mood cerita pendek. Lengkap dengan keintiman adegannya.

"Hai manis!" sapa Joe Louis pada istrinya, yang menunggu di bandar udara Los Angeles.

Istrinya tersenyum, mendekati, menjinjitkan kaki hendak mencium -tapi mendadak berhenti.

"Joe, mana dasimu?"



"Aduh, manis," seru Louis, mengangkat bahu, "Aku keluar semalaman di New York dan tak punya waktu..."

"Sepanjang malam! Tiap kamu ke sini, kerjamu hanyalah tidur, tidur, dan tidur."

"Manisku," jawab Louis, meringis, lunglai, "Aku sudah tua."

"Ya. Tapi tiap kamu ke New York kamu coba jadi muda lagi."

"What the hell is going on?"

Wolfe gusar. Wolfe terkesan karena Gay Talese. Laporan itu, dibaca Wolfe, di majalah Esquire, pada 1962. "Saya tak habis pikir, bagaimana seseorang bisa membuat laporan sedekat itu," kata Wolfe. Bagaimana sebuah reportase terasa amat nyata?

Gay Talese
Pembaca seolah ada di sana, menyaksikan kehidupan seorang tokoh yang dulu begitu heroik. Wolfe tergerak, melakukan observasi, dan mempraktikkan, dalam pekerjaannya sebagai wartawan harian New York Herald Tribune.

Sepuluh tahun kemudian, Wolfe menjelaskannya dalam artikel bertajuk "The Birth of The New Journalism: An Eyewitness Report" yang dimuat majalah New York. Setahun kemudian, 1973, bersama E.W. Johnson, Wolfe menerbitkan buku berjudul The New Journalism -sebuah antologi dari orang-orang yang disebutnya new journalists (jurnalis baru).

Beberapa artikelnya sendiri, ia jadikan pengantar antologi itu dengan uraian yang cukup ruwet, dan mirip risalah. Buku itu juga disertai appendix yang panjang dan luas, menerangkan soal sastra.

Maka Wolfe mulai memicu suatu debat panjang di Amerika Serikat. Gaya kesastraan yang dipakainya jadi pangkal keributan. Khususnya, di urusan jurnalisme yang memandang kebenaran, fakta, etika, fairness, dan seterusnya, sebagai sesuatu yang sangat suci. Bagaimana fakta bisa dicampur dengan fiksi? Bagaimana jurnalisme bisa dicampur dengan sastra?

Namun, jurnalisme baru bukan laporan fiktif. Sastra diadopsi cuma untuk urusan gaya. Fakta tetap jadi bahan mahapenting. Pembaca dibuat terpikat oleh gaya kesastraan yang dipakainya. Gaya kesastraan itu pula yang membuat wartawan baru sering bekerja lebih keras dari wartawan biasa.

Fakta-fakta dicari para jurnalis baru dengan sangat mendalam. "Lebih dari sekadar menyajikan fakta secara kronologis," kata Fred Fedler dalam buku An Introduction to the Mass Media. Mereka mencari ulang keseluruhan adegan, menjadikannya sebuah kisah yang bergerak dari satu adegan ke adegan lain.

Mereka mewawancarai lusinan orang, hanya untuk mempelajari sebuah peristiwa, lalu merekonstruksi kejadiannya ke dalam laporan.

***

Tom Wolfe
Wolfe menunjuk ada empat hal yang membedakan jurnalisme baru dengan jurnalisme konvensional :

(1)   Pemakaian konstruksi adegan-per-adegan;
(2)   Pencatatan dialog secara utuh;
(3)   Pemakaian sudut pandang orang ketiga; dan
(4)   Catatan yang rinci terhadap gerak tubuh, kebiasaan, dan pelbagai simbol dari status kehidupan orang-orang yang muncul dalam ceritanya.

Gaya bertutur mirip skenario film 

Konstruksi adegan-per-adegan merupakan gaya bertutur dengan susunan mirip skenario film. Dalam jurnalisme baru, adegan membuat pembaca memahami perubahan cerita dengan sendirinya, tanpa harus dijelaskan.

Cerita Jimmy Breslin dijadikan contoh oleh Wolfe. Breslin seorang wartawan yang sangat hidup dalam menggambarkan adegan. Kisahnya sederhana, cuma soal cincin berlian merah jambu di jari seorang bos penjahat bernama Anthony Provenzano. Adegan dibuka lewat sinar matahari yang menerobos jendela tua, berjamur, di sebuah gedung
pengadilan.

Tony Provenzano, salah satu orang kuat di Teamters Union, sebuah serikat buruh yang juga bergerak dalam dunia kriminal, mondar-mandir di koridor pengadilan negeri Newark. Ia tersenyum kecil dan menjentik-jentikan rokok putihnya. ”Hari ini enak untuk memancing,” kata Tony.

Kemudian ia meregangkan kaki dan menghampiri kawannya, Jack, yang bertubuh besar dan bersetelan abu-abu. Tony mengeluarkan tangan kirinya seperti siap meninju Jack.
Cincin besar Tony berkilat-kilat merah jambu kena sinar jendela.

Tony mengubah posisi dan menepak Jack dengan tangan kanan ke bahu. ”Selalu di bahu,” canda seorang penjaga di koridor, ”Tony pasti memukul Jack di bahu.”

Jimmy Breslin saat masih muda
Adegan berlanjut ke penjaga. Seorang penjilat. Tapi, kilatan cincin hilang. Matahari
mematikannya. Breslin lalu mengubah adegan ke ruang kafetaria. Jaksa muda, yang menangani kasus itu, tengah menyantap kerang dan salad buah ....

Breslin, nilai Wolfe, sepertinya menyajikan cerita pendek. ”Tapi itu benar-benar merupakan sebuah kejadian! Bukan khayalan.”

Kemampuan ini, nilai Wolfe, adalah kemampuan seorang wartawan yang dicampur dengan kemampuan seorang novelis. Dengan kata lain, memakai adegan merupakan sebuah upaya. Wolfe menawarkan alternatif baru dari jurnalisme yang biasanya hanya menjelaskan (baik ekspositoris maupun historis). Lewat adegan, jurnalis baru mencoba tampil beda.

Kesempurnaan Adegan dan Dialog yang Utuh

Kesempurnaan adegan terkait dengan penciptaan dialog yang utuh sebagai hasil ketekunan mencatat kata-kata berbagai narasumber. Dari dialog, pembaca tahu apa yang terjadi. Bagaimana kejadiannya. Bahkan, bisa menilai narasumber dari cara dia bicara. Bagaimana karakternya, sikap dan pemikirannya.

Menurut Wolfe, cara membuat dialog diambil para wartawan majalah Amerika Serikat dari kebiasaan para novelis. Dialog di sini bukan cuma memaparkan percakapan. Tapi mengandung juga upaya penggambaran karakter, secara ringkas dan efektif. Para jurnalis baru menyusun dialog lewat hasil wawancara.

Proses wawancara, dengan demikian, menyangkut urusan yang tidak sekadar merekam pembicaraan. Momen-momen narasumber bicara juga diperhatikan.

Untuk itu, jurnalis baru melakukan riset. Mereka pelajari latar belakang tokoh mereka. Wawancara dilakukan secara mendalam, bahkan berulang-ulang, dengan sumber-sumber yang sama maupun berbeda, agar mendapat rekonstruksi pikiran dan emosi yang pas. Hingga, ketika disajikan, subyek beritanya tampil leluasa, tidak kaku. Tiap kata yang diomongkan punya nuansa ide, atau makna lain, sesuai konteks saat dialog terjadi.

Contohnya bisa disimak melalui tulisan Susan Orlean, "The American Man At Age Ten," di majalah Esquire yang oleh Norman Sims dan Mark Kramer jadi salah satu contoh dalam buku mereka Literary Journalism : A New Collection of the Best American Nonfiction

Colin adalah anak lelaki umur 10 tahun yang diminta untuk menilai dunia. Semula, Orlean dipesan Esquire menulis keseharian Macaulay Culkin, aktor cilik yang mencuat lewat film Home Alone. Orlean menolak. Ia mau menulis anak 10 tahun pilihannya sendiri, Colin Duffy : seorang anak biasa dari Glen Ridge, New Jersey.

Colin tidak tertarik, awalnya. ”Hari-hari pertama ia tidak mau menoleh pada saya,” kata Orlean. ”Lalu, suatu hari setelah sekolah usai, tahu-tahu saja ia berkata, 'Mau nggak menengok kamarku, dan bertemu dengan anjingku?' "

Hasilnya, Orlean, melaporkan:

Sepanjang jalan pulang, saya main tebak-tebakan dengan Colin tentang pandangannya soal dunia.

"Siapa orang paling asyik di dunia?"

Susan Orlean
"Morgan Freeman."

"Olah raga paling oke?"

"Sepak bola."

"Cewek paling keren?"

"Nggak ada. Tau' deh ...aku nggak tahu."

Atau, omongan monolog begini:

"... Ia menyukai iklan-iklan. Ia juga menggemari tayangan komersial di televisi. Secara umum bisa dikatakan, ia menyukai produk-produk konsumsi dan budaya pop. Sepanjang waktu kami bersama, tak habis-habisnya ia memberi komentar tentang merchandise, media dan hiburan."

"Reebok Pumps adalah satu-satunya sepatu yang bakal dipakai siapa saja. Yang keren itu T-shirt gede, bukan kaos-kaos sempit yang menempel di badanmu, tapi yang gedombrangan, baggy, dan panjang, bukan kaos yang berhenti di perutmu."

"Makanan terbaik Chicken McNuggets dan Sereal Life dan Frosted Flakes."

"Jangan pergi ke Blimpie's. Servisnya paling jelek di dunia."

"Aku nggak nonton Kura-Kura Ninja lagi. Aku suka Donatello, tapi aku bukan fans-nya, lho. Aku nggak pernah beli bonekanya lagi."

"Acara televisi paling bagus itu malam Jumat di ABC. Namanya TGIF, juga serial Family Matters, Step by Step, Dinosaurs, dan Perfect Strangers ... itu tuh, yang orang-orangnya bicara dengan aksen lucu!"

Eksplorasi titik pandang 
Titik pandang orang ketiga adalah ciri khas jurnalistik sastra. Dengan alat ini, jurnalis baru tidak hanya menjadi si pelapor. Ia bisa menjadi orang di sekitar tokoh. Pembaca diajak masuk dalam cerita. Seakan pembaca berada di tiap keinginan, tiap pikiran, tiap pengalaman.

Selain itu, alat ini mempresentasikan pandangan mata seseorang, atau beberapa orang. Pembaca disuruh melihat "apa yang dilihat" mereka. Perasaan mereka, dan berbagai pengalaman emosional lainnya. Berbagai sudut pandang itu dicari di berbagai tempat. Bisa didapat dari orang yang diwawancarai, atau dari orang yang sekilas diajak ngobrol.

Bahkan, Wolfe mencomotnya dari orang-orang yang ditemuinya di tengah jalan. Semuanya dianggap mewakili pikiran, emosi, pengalaman, dan seterusnya dari realitas yang terjadi.

Point of view yang campur aduk ini dikerjakan Wolfe dalam artikel "The Girl of The Year" tentang konser kelompok musik rock Rolling Stones. Karakter yang dijadikan tokoh dalam laporan itu seorang penggemar Rolling Stones, bagian dari pemberontakan generasi muda pada 1960-an, bernama Baby Jane Holzer :

Bangs manes bouflant beehives Beatle caps butter faces bruhs-on lashes decal eyes puffy sweaters French thrust bras flailing leather blue jeans stretch pants stretch jeans honeydew bottoms eclair shanks elf boots ballerinas Knight slippers, hundreds of them, thes flaming little buds, bobbing and screaming, rocketing around inside the Academy of Music Theater underneath thar vast old moldering cherub dome up there -aren't they super-marvelous!

"Aren't they super-marvelous!" says Baby Jane, and then: "Hi, Isabel! Isabel! You want to sit backstage - with the Stones!"

The show hasn't even started yet, the Rolling Stones aren't even on the stage, the place is full of a great shabby moldering dimness, and the flaming little buds.

Aksi Mick Jagger dan Kelompok Rolling Stone di atas panggung
Girls are reeling this way and that way in the aisle and through their huge black decal eyes, sagging with Tiger Tongue Lick Me brush-on eyelashes and black appliques, sagging like display-windows Christmas trees, they keep staring at -her-Baby Jane- on the aisle.

Wolfe memakai gaya penyiar radio dalam melukiskan meriahnya konser ini : cepat, ramai, penuh ikon. Suasana rush digiring. Lalu, masuk ke "pandangan mata" Baby Jane, mengulang amatan orang ketiga, "Aren't they super-marvelous!

Adegan berganti lagi. Orang ketiga melihat, antara lain, lewat mata Jane, gadis-gadis muda yang seperti "the flaming little buds" tengah berlarian ke sekitar panggung. Seterusnya, pembaca diajak berpindah-pindah, sampai akhirnya, secara mendadak, pembaca diajak menatap "mata" Baby Jane sendiri : "What the hell is this? She is gorgeous in the most outrageous way ...."

Saya sengaja tidak menerjemahkan karya Wolfe ini untuk memperlihatkan keaslian gayanya. Menurut Wolfe, dia menggunakan tiga point of view pada pembukaan pendek itu. Sudut pandang subyek (Baby Jane), sudut pandang orang-orang yang melihatnya, dan Wolfe sendiri sebagai seorang reporter.

Eksperimen itu dilakukan Wolfe dalam banyak tulisan, dari 1963 sampai 1965. Sampai seorang penulis menudingnya bunglon (chameleon).  ”Itu artinya buruk. Tapi saya menganggapnya pujian. Bunglon ... betapa tepatnya!" kata Wolfe, senang.

Ketiga posisi point of view itu bisa juga disimak melalui kisah "In Cold Blood" karya Truman Capote. Laporan ini mengisahkan dua narapidana bernama Dick dan Perry yang membunuh sebuah keluarga petani di Kansas, Amerika Serikat. Kisahnya dimuat majalah The New Yorker, pada musim gugur 1965, beberapa saat setelah keduanya dihukum mati, dan setahun kemudian dibukukan.

Karya Capote, sempat diterjemahkan majalah Matra, memberi momentum kuat pada fenomena new journalism. Cerita dan tokoh-tokohnya bersandar pada fakta : ditulis melalui masa riset lima tahun, dengan wawancara-wawancara intensif bersama saksi mata, polisi, tetangga, dan kedua pembunuh itu di penjara.

Orang ketiga muncul melalui deskripsi Truman Capote berikut ini:

Hotel Somerset adalah salah satu hotel kecil berdinding semen yang berjajar di sebuah jalan sepi dan suram. Pada Desember 1959, fasilitas yang diberikan Hotel Somerset untuk digunakan di pantai hanya dua payung untuk berteduh yang terletak di bagian belakang hotel itu. Di salah satu payung, yang berwarna merah muda, tertulis "Es Krim Valentine Tersedia untuk Anda."

"Tepat tengah hari pada Hari Natal, empat wanita berbaring di bawah dan di sekitar payung itu, di samping sebuah radio yang mengalunkan musik. Payung kedua, berwarna biru, yang bertuliskan 'Berjemur dengan Coppertone,' digunakan oleh Dick dan Perry, yang telah lima hari tinggal di Hotel Somerset, menyewa sebuah kamar untuk dua orang dengan sewa 18 dolar per minggu."

Truman Capote, 1966
Lalu, orang ketiga mulai masuk ke dalam sudut pandang:

"Perry berkata, 'Kau tidak pernah mengucapkan selamat Hari Natal kepadaku.'"

"Selamat Hari Natal, sayang. Dan selamat Tahun Baru."

Ketika Dick berdiri dan mulai bergaya - dengan bertopang pada kedua tangannya ia mengangkat kedua kakinya sehingga tegak lurus, untuk menarik perhatian empat wanita di bawah payung merah muda itu - Perry menyibukkan diri dengan membaca Miami Herald. Tiba-tiba sebuah berita di halaman dalam menyita seluruh perhatiannya.

Sebuah berita tentang pembunuhan sebuah keluarga di Florida, Tuan dan Nyonya Clifford Walker, putra mereka yang berusia empat tahun dan putri mereka yang berusia dua tahun. Masing-masing korban ditembak di kepala dengan senjata api kaliber 22. Pembunuhan yang tidak meninggalkan bukti dan motif apa-apa itu terjadi Sabtu malam, 19 Desember di rumah keluarga Walker, yang dikelilingi peternakan sapi, tidak jauh dari Tallahassee.

Perry mengganggu Dick dengan membaca berita itu keras-keras dan bertanya, "Kita di mana Sabtu malam yang lalu?"

"Tallahassee?"

"Itu yang kutanyakan."

Capote menelusuri ingatan tokoh tulisannya:

Dick mulai memusatkan perhatian. Kamis malam, ketika gilirannya menyetir, mereka meninggalkan Kansas dan melalui Missouri masuk ke Arkansas dan setelah melewati Ozark, mereka menuju Louisiana.

Di sana mesin berulah, sehingga mereka tak dapat meneruskan perjalanan pada Jumat pagi. Pagi itu mereka tidur dengan memarkir mobil di pinggir jalan di suatu tempat dekat perbatasan Alabama-Florida.

Ketika perjalanan dilanjutkan, mereka singgah di peternakan buaya dan ular, naik kapal berlantai kaca di sebuah danau yang airnya jernih, makan siang dengan hidangan udang besar di sebuah restoran di pinggir jalan.

Suatu hari yang menyenangkan. Keduanya merasa lelah sekali ketika tiba di Tallahassee dan bermalam di sana.

"Ya, Tallahassee," ujar Dick.

"Menakjubkan", kata Perry sambil kembali membaca berita itu. "Tahu, mengapa saya tidak terkejut? Ini bukan dilakukan orang gila. Tapi oleh orang yang telah membaca berita tentang apa yang terjadi di Kansas!"

Catatan yang rinci 
Alat keempat adalah mencatat dengan rinci semua detail status kehidupan karakter-karakter yang ada dalam laporan. Wolfe menjelaskan, "... catatan rinci mengenai segala gerak perilaku, kebiasaan, gaya atau cara atau adat hidup, pakaian, dekorasi rumah, travelling, makan, merawat rumah, dalam berhubungan dengan anak-anak, dengan pembantu, teman sebaya, atasan, bawahan, dan pandangan-pandangan lain atau pun yang bersifat sekilas seperti pose, gaya jalan, dan berbagai lambang lain."

Jurnalis baru mencatat semua itu. Tiap hal melambangkan setting dari sebuah komunitas sosial. Selain itu, menyangkut status dan prestise sosial, meliputi pola laku dan ekspresi sosial di berbagai posisi, juga pemikiran dan harapan. Pembaca dikenalkan dengan berbagai keterangan.

Sebuah tempat dideskripsikan bentuk bangunannya, ornamen, sejarahnya, dan keterangan lain. Begitu pun sosok orang-orang digambarkan bagaimana rautnya, tubuhnya, cara berjalannya, penampilannya, dan seterusnya. Emosi mereka diungkap pula, dari ekspresi pengakuan diri sampai ke penyakit psikis atau perilaku unik.

Tom Wolfe menyebut sastrawan Prancis, Honoré de Balzac (1799-1850), yang menulis La Comédie humaine sebagai seseorang yang mengembangkan gaya realisme dalam novel-novelnya. Di satu karyanya, La Cousine Bette (1846), sebelum mengantarkan pembaca kepada Monsieur dan Madame Marneffe, Balzac memberi pembaca gambaran ruangan tempat mereka berada dan perilaku sosialnya.

Dari jenis perabot, karpet, lampu dinding, lukisan, dan seterusnya : digambarkan. Segala yang ada di ruangan disebut, melukiskan kehidupan pasangan yang ingin memiliki gengsi sosial, Monsieur dan Madame Marneffe. Kecermatan Balzac memberi efek.

Pembaca sekaligus dikenalkan dengan gambaran status kehidupan, ambisi-ambisi sosial, kegelisahan, kesenangan, kemalangan pasangan itu. "Plus segala perilaku kesehariannya," kata Wolfe.

Dengan kata lain, alat keempat ini memberi kepada pembaca suatu deskripsi sosial. Memotret latar belakang kehidupan seseorang. Mencatat lambang sosial.  Meminjam kalimat Tom Wolfe, pendekatan ini seakan-akan mengatakan pada pembaca, "Datanglah ke sini! Lihat! Ini kehidupan orang perorang tiap harinya! Di sini terlihat pikiran mereka ketika mengerjakan sesuatu!"

Ciri-ciri sosial itulah yang dilaporkan jurnalis baru. Pengamatan bisa hadir melalui sudut pandang penulis, lewat seorang "saya". Bisa juga melalui tokoh-tokoh kisahnya. Namun, yang penting, pengamatan ini menampilkan deskripsi yang tajam, detail, lengkap, dan bermakna.

Potongan tulisan Joseph Mitchell dalam karya klasiknya "The Rivermen" juga menampakkan hal itu :

Di tengah Edgewater, sekitar River Road dan ujung Dempsey Avenue, tempat pangkalan feri mestinya ada, terdapat daerah bisnis yang kecil. Sejumlah toko dan himpitan salon-salon, yang di New Jersey disebut tavern (warung kopi), bertebaran di River Road, di atas dan bagian bawah kota. 

Bagian bawah Edgewater bernama Shadyside; nama dari kapal feri. Daerah ini merupakan campuran rumah tinggal dan pabrik. Mayoritas pabrik terletak di bawah, menuju sungai, terhubung dengan jaringan rel kereta api, dan jelujuran cerobong asap mencuat darinya.

Di antaranya, pabrik Aluminum Company of America, pengeringan tanaman kopi, pabrik pembuat bahan-bahan atap, pabrik pembuat asam sulfur, dan pabrik ragi bermerek Spry. Di atap pabrik ragi Spry terdapat lampu listrik raksasa ; cahayanya berpendaran di permukaan sungai, dan pada malam hujan berkabut, tak henti mengulang-ulang pesan, "Spry untuk Roti," "Spry untuk Roti," "Spry untuk Roti," bagai rahasia samar New Jersey, yang sia-sia, melintasi New York.

Joseph Mitchell
Segala detail sosial ala Joseph Mitchell itu tidak tampil begitu saja. Mitchell wartawan dari mingguan The New Yorker yang punya kecintaan khusus terhadap Sungai Hudson. Dia sering menghabiskan waktunya di sepanjang sungai. "The Rivermen" adalah laporan yang bercerita soal kehidupan orang-orang kecil, nelayan, tukang ikan, dan sebagainya, yang hidup dari Sungai Hudson.

Detail yang dipaparkan Micthel, masing-masing mewakili keterangan, yang mengandung sejarah. Dan, yang terpenting, fakta. Ada narasi di sana. Lengkap dan padu. Serta, efektif. Sebab, bila tidak, pembaca akan jenuh, bosan, dan menyudahi bacaan.

Keempat alat itu dipakai Wolfe untuk menerangkan beda jurnalisme baru dengan jurnalisme sehari-hari yang dikenal di Amerika Serikat pada 1960-an dan 1970-an.




New Journalism Wolfe 
Tom Wolfe sendiri memulai kerja new journalism-nya tidak dengan impian jadi pencetus. Dia lahir 2 Maret 1930, di Richmond, Virginia, sekolah serius, dan mendapatkan doktoralnya di bidang American Studies di Universitas Yale pada 1957. Dia sering menulis buat sejumlah koran seperti Springfield Union dan The Washington Post. Pada 1962 Wolfe mulai bekerja sebagai wartawan buat harian New York
Herald Tribune.

Sejak itu, dia mengembangkan teorinya tentang new journalism. Ia juga menulis buku pada dekade 1960-1970-an lewat judul-judul Farrar, Straus and Giroux (1965), The Pump House Gang dan The Electric Kool-Aid Acid Test (1968) yang terbit secara simultan serta Radical Chic and Mau-Mauing the Flak Catchers (1970).

Melvin Mencher, dalam buku News Reporting and Writing, menyebut temuan Wolfe sebagai anteseden bagi jurnalisme lama. Wolfe melanjutkan gaya nonfiksi 1950-an dengan warna baru. Gaya lama tidak memberi peluang banyak untuk melaporkan berbagai atmosfer fakta.

Fakta-fakta telah dipatok begitu rupa oleh straight news : dalam pola piramida terbalik. Wolfe ingin melaporkan fakta-fakta dengan berbagai suasana, tingkah, emosi, dan pikiran orang-orang. Untuk itu perlu reportase yang dalam sekali. Wolfe terkadang disebut jurnalis yang "gila" dengan detail yang risetnya dilakukan dengan amat tekun dan cermat. Jangan lupa bahwa Wolfe juga seorang doktor yang terlatih
dengan metodologi penelitian.

Persoalannya, memang, bagaimana bisa seorang jurnalis menulis nonfiksi, dengan tepat dan akurat, menembus pikiran-pikiran orang lain?

Jawabannya sederhana. "Wawancarailah dia, segala pikiran dan segala emosinya, sepanjang berhubungan dengannya," kata Wolfe.

***

Kritik pun bermunculan. Banyak penulis menyatakan tidak ada yang baru dari new journalism. "New journalism tidak benar-benar ada," kata Jack Newfield dalam Village Voice. "Ia cuma kategori salah kaprah. Dalam jurnalisme cuma ada tulisan buruk dan tulisan bagus, ide cerdas dan ide tolol, kerja keras dan para pemalas."

Ditambahkannya, "Tiap orang yang berumur 35 tahun dan bekerja sebagai penulis, akan menyebut dirinya seorang jurnalis baru."

Jack Newfield mengatakan bahwa new journalism sesungguhnya merupakan lusinan perbedaan gaya menulis, dan banyak darinya yang tidak baru. New journalism telah digunakan sejak lama : dalam pemunculan penny press pada 1830-an, yellow journalism selama 1890-an, dan interpretative reporting usai Perang Dunia II.

Nilai sastra yang digunakan Truman Capote, Gay Talese, dan lainnya juga telah dipraktikkan jauh sebelumnya. Richard Henry Dana menggunakannya dalam buku Two Years Before the Mast yang terbit 1840. Mark Twain juga memakainya ketika menggambarkan kehidupan di sungai Mississippi.

John Hersey, 1945
John Hersey memanfaatkannya dalam Hiroshima yang terbit pada 1946. Hersey mewawancarai enam orang yang lolos dari maut sehabis Hiroshima diluluhlantakan bom atom dan melaporkan peristiwa itu dari kacamata mereka.

Para kritikus juga mengecam bahwa new journalism telah mengembalikan kembali keburukan masa lalu : an era of bias. Fred Fedler menjelaskan, "Banyak jurnalis baru yakin tidak ada ketentuan ihwal laporan yang akurat. Bila memang harus mengubah kelaikan yang ada, mereka akan melakukannya. Mereka bekerja dengan moral seperti itu!"

Para jurnalis baru dianggap melecehkan nilai-nilai jurnalisme, seperti fakta dan objektivitas. Maka itu, mereka dinilai dapat membawa bias, menjungkirbalikan fakta, kepada pembaca.

Mereka, antara lain, disebut pembawa jurnalisme subjektif. Richard Schickel dalam Commentary, mengatakan jurnalis baru terlalu subyektif, melebih-lebihkan individualisme wartawan : dalam memandang ruang dan waktu suatu peristiwa.

Reportase new journalism memang tidak gampang. Mereka harus memiliki daya tahan. Capote meriset para narapidana, mewawancarai berbagai orang, serta melukis ulang kejadiannya, makan waktu lama. Wolfe yang dikenal banyak mengutip statement, omongan ngalor-ngidul orang, dikenal akurat dalam kutipan narasumbernya.

"Para amatir, termasuk wartawan pers kampus dan pers bawah tanah, menyalahgunakan teknik-tekniknya, dan mempublikasikan kisah-kisah yang dangkal, lemah di penulisan, dan menyesatkan," ujar Fedler.

Jauh sekali bila dibandingkan karya Truman Capote, Tom Wolfe dan Gay Talese.

Tudingan tambah keras dialamatkan. New journalism dinilai banyak bermasalah.

New journalism akhirnya agak dijauhi. Tingkat fenomenalnya surut. Berbagai kritik menyebut banyaknya pelanggaran etika. Baik karena ada wilayah privasi yang diserobot begitu saja. Para pembaca menuntut bacaan jurnalismenya tidak gurem, tidak mencampur aduk fakta dan fiksi, serta membedakan dengan jelas mana si penulis dan mana subjeknya.

Dalam etika jurnalistik, tiap gerak wartawan memang diurut sampai jauh. Contohnya, dalam pekerjaan mencari fakta. Ketika seseorang ditanya, ia mesti tahu penanyanya ialah wartawan dalam keadaan wawancara. Bukan berbincang-bincang dan jadi maling (informasi). Terutama, jika dikaitkan dengan rambu-rambu kejujuran, masalah pribadi, dan rasa hormat yang dimiliki publik.

Bukankah orang berhak jengkel bila wartawan, misalnya, menggeledahi keranjang sampahnya. Apalagi dengan tindakan menguping atau menyadap. Apalagi dengan tindakan memalsukan identitas, walau cuma mengaku petugas kamar mayat ketika bertanya ini-itu kepada keluarga korban pembunuhan.

Jurnalis baru, seperti wartawan umumnya, berhadapan dengan isu-isu etika, seperti keterbukaan dan objektivitas, mis-representasi, pelanggaran privasi, konflik kepentingan, narasumber anonim, pemberian materi, dan jarak. "Ini menyangkut kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap media," kata William T. Newill, editor Burlington County Times yang dikutip Bruce D. Itule dalam buku News Writing and Reporting for Today's Media.

Pembaca punya hak untuk tahu, misalnya, siapa sumber anonim itu? Kenapa sumber itu tak disebutkan namanya? Selain itu, arogansi jurnalisme. Arogansi wartawan sering mirip para pengacara, dokter, dan lainnya yaitu, tidak suka dikritik.

Mestinya, menurut Itule, pers selalu harus siap diperiksa moralnya oleh masyarakat. "Pers mesti menjelaskan kepada masyarakat apa yang dikerjakannya dan mengapa -dan, kapan sesungguhnya, ia melakukan kesalahan."

Ini membuat new journalism juga menambal kelemahan-kelemahannya. Berbagai pihak kemudian menyempurnakannya. Mereka menelusuri unsur-unsur dan metode yang dapat mengatasi kelemahan reportasenya.

Jurnalisme Sastrawi 
LITERARY journalism kemudian hadir. Ia jadi konstituen penting new journalism. Ketika istilah new journalism mencuat pada 1960-an, banyak pihak kesulitan merumuskannya. Masalahnya, new journalism dipraktikkan juga oleh pihak lain, yang ingin menggugat objektivitas dalam jurnalisme.

"Kekerasan di dalam negeri dan peningkatan ketegangan usai Perang Vietnam, menyulitkan pembuatan liputan yang objektif," kata Edward Jay Whetmore ketika membahas "The Evolution of American Journalism" dalam buku Media America.

Literary journalism atau jurnalisme kesastraan kemudian mengambil tempat jurnalisme baru. Perkembangan literary journalism banyak ditarik dari pendahulunya: berbagai metode dan teknik diperluas, disempurnakan, untuk mengatasi kritik-kritik yang ada. Para inovatornya bukan hanya kalangan pers.

Para penulis bidang lain, macam sains dan teknologi, bisnis dan kedokteran, turut mengembangkan genre ini. Penelusuran mereka, bersama kalangan jurnalis, meletakkan literary journalism lebih jauh lagi.  Immersion reporting, antara lain, diperkenalkan mereka. Teknik peliputan ini menjawab kritik, yang dilontarkan orang, pada new journalism. Kedalaman fakta, misalnya, mereka cari dan ungkap tanpa rekonstruksi.

Tiap cerita sering diliput sejak awal. Si wartawan mendampingi orang-orang yang hendak dilaporkannya dari awal kejadian. Dari operasi otak manusia hingga kelahiran bayi yang mengalami kelainan. Dari membangun sebuah supercomputer hingga take over sebuah perusahaan. Tak ketinggalan bagaimana sebuah operasi militer dijalankan. Si wartawan meliput dari dekat bagaimana kejadian-kejadian itu berkembang.

Richard Preston
Richard Preston, misalnya, dalam artikel The Mountains of Pi, di majalah The New Yorker, menampilkan ahli matematika Amerika keturunan Rusia, Gregory Volfovich Chudnovsky, yang bukan saja jago desain rumus "Pi kurang lebih sebesar 3.14"-sebuah angka dalam menentukan diameter lingkaran-tapi mencarinya dengan komputer hingga mendapatkan angka 3.1415926535897932384626433832795028841971693993751 ....

Chudnovsky pun tampil "dari tempat tidurnya" dan bicara dengan aksen Rusia.

Norman Sims dalam The Art of Literary Journalism menjelaskan terjadinya perluasan konsep. Indikasinya terlihat dengan unsur kedalaman reportase (immersion reporting), teknik-teknik naratif yang membebaskan pandangan si wartawan, dan peningkatan standar akurasinya.

Pandangan penulis, yang tadinya disembunyikan, makin dibuka. Para penulis kian dimungkinkan hadir dalam cerita. Selain itu, perbedaan perspektif, suara, dan pengalaman, diangkat ke permukaan, dengan rinci. Sudut pandang orang pertama tampil menguasai laporan, mengangkat perbedaan-perbedaan tersebut.

Pada 1984, literary journalism menciptakan karakteristik yang terdiri dari kedalaman reportase, akurasi, suara, struktur, tanggung jawab, dan representasi simbolik. Struktur pengisahan menjadi semakin kompleks, dan tak tertutup bagi suara penulis dilibatkan. Metode liputan pun telah mencampur gaya fiksi dengan etnografi, dalam mengakses simbolisme fakta, strategi riset, dan teknik-teknik pencariannya.

Nilai aktualitas makin ditekankan. Pembaca menjadi tamu-kedua yang menyaksikan sebuah pengalaman dituturkan penulis. "Literary journalism menjadi genre yang menghargai pembaca dan bacaan yang menjunjung kemandirian masyarakat," nilai Mark Kramer, seorang wartawan sekaligus dosen Universitas Boston, yang menulis pengantar buku Literary Journalism: A New Collection of the Best American Nonfiction.

Kekuatan prosanya tergantung pada penerimaan masyarakat terhadap cara kerja pelapornya. Nilai faktualitas diminta hadir, dan bisa ditelusuri. Jurnalis kesastraan menggerakkan sikap tidak setertutup penulis novel. Pembaca langsung mengenali penulis dari tiap bagian tuturannya.

Ketika penulis memakai gaya naratif, posisi "pengetahuan si penulis" menjadi sejajar dengan apa yang hendak disampaikannya di dalam laporan. Dengan demikian, literary journalism semakin mendetailkan fakta, lebih bersifat naratif, dan dipenuhi dengan "keintiman suara" dari si penulis. Kompleksitas masyarakat disorot lebih dalam.

Ia menjadikan informasi sebagai alat pengungkap pengalaman keseharian. Pembaca diserahkan untuk mendapat gambaran kehidupan lain, dalam konteks yang begitu dalam dan luas. Prosesnya mengajak pembaca dan penulis, seakan melihat sendiri, dengan penuh gairah, dan menjadi bijak.

"Saya sering mengklaim bahwa di sini terkait dengan nilai politis, yang sangat kuat nilai demokratisnya," kata Kramer. Literary journalism menjadi sesuatu yang bersifat pluralistik, proindividual, antipemihakan, dan antielit. "Kebenaran ada di detail-detail kehidupan nyata."

Maka itulah, jurnalis kesastraan kini berkeliaran, mewawancarai objek, dengan teknik partisipan aktif dari antropologi. Dalam kaitan semua itulah, immersion reporting memainkan peran penting dalam pengembangan literary journalism.

Jurnalisme Naratif 
JURNALISME ini masuk ke dalam genre nonfiksi, narrative nonfiction.  Apa persamaan atau perbedaannya dengan literary journalism, atau creative nonfiction, or extended digressive narrative nonfiction?

"Narrative journalism merupakan bentuk cangkokan, hasil perkawinan silang antara keterampilan penuturan cerita dengan kemampuan seorang jurnalis dalam membuat drama, dan kegiatan mengamati segala orang, tempat, dan kejadian, yang nyata di banyak tempat dunia," kata Robert Vare, seorang wartawan yang pernah jadi redaktur majalah The New Yorker dan The Rolling Stones, dalam sebuah diskusi tentang narrative journalism, yang dilaporkan majalah Nieman Reports.

Ia merupakan bentuk tercanggih dari penulisan nonfiksi, terutama dalam mengontrol kekuatan fakta, untuk teknik pengontruksian fiksi yang dilakukan secara naratif: dalam menata adegan, lukisan multidimensi karakter, dan terlebih penting, penyampaikan sebuah kisah yang menghadirkan suara (voice) yang ingin didengar pembaca.

"Jika saya mengatakan kepada kamu bahwa raja telah wafat, dan kemudian ratu wafat, ini bukan narrative. Tapi, jika saya mengatakan kepada kamu bahwa raja telah wafat, dan kemudian ratu wafat karena patah hatinya, ini adalah narrative," kata Robert Vare.

Jenis nonfiksi ini memang hendak menjembatani hubungan antara pelbagai peristiwa dengan pemaknaan dan emosinya. "Narrative mengubah rumus 5W dan 1H," ujar Roy Peter Clark dalam Nieman Reports. Who menjadi karakter. What menjadi plot. When menjadi kronologi. Why menjadi motif.

Dan How menjadi narasi. Hingga, pengisahan berita narrative jadi mirip kamera film dokumenter. "Pembaca tidak pernah dibodohi (dibohongi) oleh kisah-kisah mereka. Narrative mereka telah mengimplikasikan sebuah kesepakatan bahwa kelayakan kisah mereka dibuat berdasar kecermatan dan kejujuran," lanjut Clark.

Robert Vare
Dalam sejarah jurnalisme di Amerika Serikat, majalah merupakan pemakai awal kekuatan narrative, menurut Robert Vare. Lalu ia dipakai dalam penulisan buku dan sejak 1990-an mulai banyak dipakai oleh suratkabar yang merasa butuh laporan-laporan panjang, mendalam, guna menerangkan isu-isu penting kepada pembacanya.

Majalah Texas Monthly dan Philadelphia adalah penggunanya. Diselingi kejutan-kejutan majalah Rolling Stone, yang misalnya menerbitkan karya John Colapinto tentang ketragisan hidup pasangan interseksual "The True Story of John/Joan." Juga, majalah Harper's dan Outside, serta majalah selebritas Esquire, bahkan majalah olah raga Sports Illustrated.

Pada 1960-an, 1970-an, dan 1980-an, berbagai majalah Amerika menampilkan gaya naratif lewat, misalnya, The New Yorker di bawah William Shawn, Esquire di bawah Harold Hayes, Harper's di bawah Willie Morris, Rolling Stone di bawah Jann Wennerall. Beberapa buku yang terkenal juga muncul pada era ini. Misalnya karya Norman Mailers "The Armies of the Night," David Halberstam "The Best and the Brightest," Michael Herr "Dispatches," Tracy Kidder "The Soul of a New Machine."  

Dunia suratkabar lalu menyentuhnya. Orang-orang koran secara energik melakukan pengembangan, dalam ruang feature mereka, maupun serial laporan. Para redaktur koran tertarik karena permasalahan bisnis suratkabar. Mereka dirudung masalah sirkulasi yang stagnan, persaingan dengan televisi, pangsa pembaca yang itu-itu juga, dan bacaan yang dinilai membosankan. "Semua itu menghiasi tampilan dan isi banyak koran di lebih satu dekade ini," ujar Mark Kramer.

Bagi suratkabar, narrative journalism dipakai untuk menambah kekuatan sajian koran, yang harus menjangkau pembaca dari segala lapisan. Lewat narrative, orang koran berupaya memperbaiki ulasan pemberitaannya. Selalu mencoba mengajak keterlibatan pembacanya, agar mau tetap setia.

Roy Peter Clark menurunkan sejumlah argumentasi penting untuk menyodorkan pentingnya narasi. Argumentasi Clark ini dipakai untuk melawan argumentasi konvensional yang biasa dipakai para redaktur suratkabar :

Beri pembaca berita yang mereka inginkan. Bukan, beri pembaca apa yang mereka butuhkan. (Give readers the news they want. No, give them what they need.)

Grafik adalah jawabannya. Bukan, penulisan adalah jawabannya. (Graphics are the answer. No, writing is the answer.)

Ini suratkabarnya para penulis. Bukan, ini sebuah suratkabar para editor. (This is a writers' paper.No, it's an editors' paper.)

Jurnalisme investigastif. Bukan, jurnalisme sipil (Investigative journalism. No, civic journalism.)

Kisah yang panjang. Bukan, kisah yang pendek. (Longer stories. No, shorter stories.)
Tekankan di penulisan. Bukan, reportase. (Concentrate on writing. No, reporting.)
Tingkatkan kualitas. Bukan, arahkan ke profit. (Improve quality. No, focus on profits.)

Mark Kramer
Maka, di ruang redaksi suratkabar, menurut Mark Kramer, berkembangnya narrative journalism biasanya dimulai dengan hal berikut: Pada tema apa dan teknik bagaimana narasi digunakan? Proses reportasenya bagaimana? Siapa yang menuliskannya dan siapa menyuntingnya?

Banyak editor ketakutan ketika hendak memulai laporan yang naratif karena berasumsi narasi itu tak relevan, tak esensial, dan tak mendasar. Mereka tak mau membuka diri terhadap gaya-gaya baru, yang justru komersial. Padahal, banyak berita memiliki daya tarik bila menggunakan potongan-potongan narrative. Daya tarik laporan narrative bakal mengajak pembaca untuk masuk secara langsung ke dalam ilusi kisah.

Narasi juga akan banyak mengangkat nuansa kehidupan, hal-hal yang biasa dilakukan orang- orang biasa. Infrastruktur keredaksian mestinya membantu kerja wartawan di lapangan, dalam mengejar kedalaman peristiwa yang ditangkap secara personal.

Narrative journalism memerlukan ambisi si wartawan, yang juga tak dibebani rutinitas redaksi. Liputan yang dilaporkannya harus jadi pengalaman unik yang personal sifatnya. Ia tak hanya mengenali subjek liputan sebagai materi jurnalisme akan tapi mengenali mereka dengan keintiman orang dekat.

Dari alinea awal sampai akhir, ia menyajikan pengalaman tersebut kepada pembaca, dalam laporan yang tetap terkontrol, matang, dan terkadang lucu. Sejak itu, menurut Mark Kramer, narrative journalism telah membangun gengsi reportase koran. Menjadi kekuatan jurnalisme cetak, menaikkan gengsi halaman-halamannya, dan termasuk reportasenya.  ***

Copyright © 2001, PANTAU - Tahun II Nomor 018 - Oktober 2001


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More