Selasa, 26 April 2011

"PACARAN, YUK!"

Di sore yang kelabu, awan mendung menggelayuti langit. Terlihat wajah-wajah yang gelisah. Mereka sesekali melongok ke luar jendela. Mengharap sosok yang mereka tunggu muncul. Wajah-wajah itu terlihat cukup bosan. Terlalu lama menunggu.
“Mana nih Pak Idham? Lama amat sih!”, celetuk salah seorang dari mereka. Raut wajahnya terlihat tidak sabar. Kepalanya yang agak botak ia elus berkali-kali. Mungkin jika punya rambut, dia sudah menjambak rambut yang ada di kepalanya itu. Galau. Dia lah ketua kelas. Namanya Agung, berumur 21 tahun. Kulitnya kecoklatan, suaranya cukup berat. Suara yang cukup memiliki wibawa sebagai seorang pemimpin.

Agung terlihat gelisah menanti dosennya datang. Melihat teman-temannya berisik, dia semakin galau.


“Eh ada yang liat Pak Idham gak sih? Lama banget dia.. Udah jam 3 lebih. Katanya masuk jam 3?!”, dia melontarkan pertanyaan pada teman-temannya.
Tak ada yang menyahut, masing-masing sibuk bercanda dengan teman sebelahnya. Agung pun tampak kesal, lalu berjalan menuju ke arah pintu kelas. Jam sudah menunjukkan pukul 15.30, tetapi Pak Idham, dosen yang akan mengajar sore itu belum datang juga.



Sebagai ketua kelas, dia merasa bertanggung jawab untuk memanggil dosennya tersebut. Dia memutuskan untuk mencari Pak Idham. Ragu, karena tak tahu Pak Idham dimana, dia pun kembali duduk. Kepalanya yang semi botak kembali dielusnya.
“Tolong dong telfon atau sms Pak Idham. Udah sore nih, mau masuk gak sih dia?”, pinta agung kepada teman-temannya. Rupanya dia sudah tidak sabar lagi untuk menunggu.
Di kelas itu ada dua belas orang, empat orang mahasiswa laki-laki dan delapan orang mahasiswa perempuan. Namun hanya Agung sendiri yang terlihat sibuk. Mondar-mandir menunggu kedatangannya dosennya. Aku merupakan salah satu dari mereka. Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi semester empat, yang masih “setia” menunggu Pak Idham datang. Usiaku sendiri saat ini menginjak 20 tahun. Walaupun sudah mahasiswa, terkadang aku merasa masih kanak-kanak. Seperti sore ini, aku asyik bercanda dengan teman-teman di dalam kelas. Persis seperti anak SD ketika tak ada gurunya di kelas.
“Mungkin Pak Idham ada urusan, Gung. Kan dia orang sibuk”, kataku menenangkan Agung.
Pusing melihat temanku itu mondar-mandir seperti orang sembelit, aku pun mengambil HP di kantong tasku. Aku bermaksud menelpon Pak Idham. Tidak biasanya dia terlambat terlalu lama. Ku cari nomor telponnya dalam daftar kontak di HP ku. Ketika aku mencoba menelpon, tak ada jawaban. Begitu seterusnya hingga ku coba untuk yang ketiga kalinya.
“Gak diangkat telponnya. Mungkin lagi di jalan”, jelasku pada Agung.
Kehebohan yang ada di kelas mulai berkurang. Kelas tak lagi berisik. Rupanya teman-temanku mulai capek bercanda dan sadar bahwa dosen mereka belum datang juga. Jam sudah menunjukkan pukul 15.50. Wajah-wajah yang gelisah pun semakin bertambah. Tak hanya Agung, tetapi semua mahasiswa di kelas itu mulai mengeluh. Biasanya Pak Idham tak pernah terlambat selama itu.
Langit bertambah mendung, gelap. Para mahasiswa di kelas semakin gaduh. Saat itu mereka menempati ruang H 101. Cukup dekat dengan lab komunikasi. Terlihat sepasang muda-mudi yang sedang duduk berduaan di bawah pohon mangga di samping gedung. Mungkin karena bosan menunggu, perhatian para mahasiswa di kelas itupun teralih kepada pasangan tersebut. Terlihat iri terhadap pemandangan di hadapan mereka.
Aku sendiri melamun. Membayangkan enaknya berduaan ketika cuaca mendung. Namun ketika aku sedang asyik melamun, pintu terbuka dengan keras. Terlihat sosok pria berkulit gelap tergopoh-gopoh masuk ke dalam kelas. Rambutnya sedikit acak-acakan. Air menetes dari rambut ke dahinya. Pria itu menarik napas beberapa kali. Lalu, dalam satu hembusan keras, dia menatap ke arah kami. Kami pun diam.
“Saya minta maaf ya, saya terlambat. Tadi ada urusan”, ucapnya sambil menatap ke arah kami semua.
Dia adalah Pak Idham, dosen Psikologi Komunikasi yang sedang kami tunggu kedatangannya. Beliau berusia 33 tahun dan sedang menempuh pendidikan doktoral di Universitas Indonesia. Kami senang diajar beliau. Pak Idham adalah sosok dosen yang tidak gila hormat. Dia bersedia dikritik oleh mahasiswanya. Tidak seperti dosen lain, yang gila hormat.
Sore itu Pak Idham memakai baju batik, celana bahan berwarna hitam, dan sandal. Sederhana sekali. Tetapi dibalik kesederhanaannya, beliau adalah orang yang cerdas. Tentu saja cerdas, sebab dia bisa menempuh studi doktoralnya melalui program beasiswa.
Sejenak kelas menjadi hening. Beberapa mahasiswa tampak kecewa. Pak Idham sudah terlalu lama terlambat. Rupanya Pak Idham menyadari hal tersebut, dia berhenti membolak-balik buku “Psikologi Komunikasi” karya Jalaludin Rakhmat yang ada di genggamannya. Sambil duduk di bangku dosen, beliau menatap ke arah kami.
“Saya benar-benar minta maaf sama Anda sekalian. Tapi saya tadi benar-benar ada urusan”, ucap Pak Idham penuh penyesalan.
Wajah-wajah di hadapan Pak Idham agak melunak. Bagaimanapun juga, Pak Idham selalu memperbolehkan kami masuk kelas walaupun kami sudah sangat terlambat. Menunjukkan sikap damai, kami pun mengangguk.
Walaupun sempat diawali dengan kekecewaan pada Pak Idham, tetapi kuliah sore itu cukup menyenangkan. Seperti biasa, Pak Idham sering membahas persoalan cinta pada mata kuliah Psikologi Komunikasi. Aku sendiri sangat menyukai mata kuliah ini. Aku bisa “curhat” gratis, berpura-pura mengaitkan antara pengalaman cintaku dengan mata kuliah tersebut.
Pembahasan sore itu adalah mengenai Atraksi dan proses pengenalan diri. Pak Idham menjelaskan bahwa jika kita memiliki perasaan tertentu, sebaiknya kita lampiaskan atau ekspresikan. Dalam hal mengekspresikan perasaan tidaklah selalu dalam wujud perilaku tertentu. Misalnya ketika sedang marah, kita tak perlu harus memarahi orang tersebut dengan memaki-maki kasar. Namun cukup dengan ekspresi, orang pun akan cukup tahu bahwa kita sedang marah kepadanya. Begitu pula dalam hal cinta. Semakin dipendam, rasa cinta tersebut bisa saja menyiksa kita. Maka cara yang baik adalah dengan mengungkapkannya.
Perhatianku terpusat penuh pada ucapan Pak Idham. Namun, lenganku disenggol oleh teman sebelahku. Dimas, temanku yang berkulit gelap dan berbadan bongsor tersebut membisikkan sesuatu. Karena tak mendengarnya, ku dekatkan wajahku ke hadapan wajahnya. Dimas membetulkan letak kacamata di hidungnya, kemudian berbisik di dekat telingaku.
“Jadi inget syuting kita kemarin, yang pas gue adegan nembak cewe sambil ngomong ‘Pacaran, Yuk!’. Ampuh banget tuh kalimat ya buat nembak orang”, kata Dimas sambil cengengesan.
Aku ikut meringis. Ku palingkan wajahku dari Dimas, kembali menghadap ke depan. Saat itulah mataku bertemu dengan mata Pak Idham. Tiba-tiba mulutku berucap “Pacaran, Yuk!”. Tepat ke arah Pak Idham.
Ku lihat mata Pak Idham agak terbelalak. Terlihat kaget. Sejenak aku langsung tersentak, sadar akan apa yang telah ku ucapkan. Aku pun langsung berteriak, “Aaaaaa!!! Tidaaaaakkkkkk !!!!!”. Histeris. Heboh sekali. Ku lihat teman-temanku melongo, bengong menatap ke arahku.
“Enggak! Enggaakkk!!!! Bukan gitu maksudnya”, aku kelabakan. Lepas kendali. Teman-temanku langsung terbahak-bahak ketika menyadari apa yang terjadi.
“Vi, lu gila banget sih. Masa nembak Pak Idham. Hahahaha”, seru Agung.
“Konyol lu Vi. Dosen sendiri ditembak. Konyooooool”, tambah Dimas. Mukanya terlihat sedikit bingung, tapi sedetik kemudian dia langsung tertawa. Keras sekali.
Beberapa teman perempuanku tak memberi komentar apapun. Mereka hanya tertawa terbahak-bahak. Menatap ke arahku, membuatku semakin malu. Awalnya aku hanya menundukkan wajah, tetapi sesaat kemudian ku angkat wajahku. Aku melihat Pak Idham masih terlihat melongo.
“Maaf, Pak. Saya keceplosan. Tadi saya Cuma ngobrol sama Dimas, bahas iklan kemarin kalimatnya ‘Pacaran, Yuk!’. Saya bener-bener gak tahu kenapa bisa ngomong kayak tadi”, jelasku pada Pak Idham.
Selesai mendengar penjelasanku, Pak Idham tersenyum. Terkesan menenangkanku, dia pun menjelaskan bahwa setiap orang kadang dikendalikan oleh alam bawah sadarnya. Sama seperti apa yang ku lakukan beberapa saat lalu. Walaupun tak bermaksud untuk mengucapkannya, namun bibirku telah meluncurkan kalimat itu tanpa mampu ku kendalikan.
Konyol sekali. Bagaimana mungkin aku bisa “menembak” dosenku sendiri? Aku hanya bisa tertunduk. Malu, tak ingin menatap wajah dosenku lagi. Tawa teman-temanku masih terdengar, namun hatiku terasa kosong. Aku serasa ingin amblas ke bumi saat itu juga. Menghilang dari kelas, menghapus rasa maluku.

 Oleh
Yati Octa Eviyanti
Ilmu Komunikasi
Semester 4



0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More