Sabtu, 30 April 2011

Kisah Yang Singkat

Terakhir 15 tahun yang lalu aku pulang kampung. Aku sudah lupa dengan suasana sana, samar-samar pun juga tidak ingat. Aku memberanikan diri untuk ke Padang hari kamis tidak dengan ibuku, melainkan dengan pamanku saja. Apa salahnya mencoba.

Sedikit untuk refreshing dengan keadaan kota yang menjenuhkan. Di benakku sudah terbesit suasana kampung yang ku rindukan. Di setiap perjalanan ku menikmatinya. Menyebrangi laut selat sunda dengan kapal, udaranya sangat dingin apalgi dengan ombak membuat kepalaku pusing. Keindahan kota lampung sudah terlihat di malam hari. Hanya diterangi lampu-lampu jalan. Banyak area pabrik dan juga hutan dan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Perjalanan di lampung tidak sebentar dibutuhkan waktu sehari untuk melewati kota lampung. Lampung barat, selatan dan utara.



Yang berkelok-kelok dan melewati sepanjang jalan hanya ada hutan saja, dan suara jangkrik ketika malam hari. Perjalanan masih panjang dan masih jauh sekali masih banyak kota yang belum di tempuh seperti Palembang, Bengkulu, jambi. Badanku rasanya sudah pegal tidak dapat tidur bebas seperti di tempat tidur. Tapi perjalanan ke kampung dengan mobil lebih seru dari pada menggunakan pesawat yang dapat di tempuh dalam 2 jam. Di daerah Palembang sudah terlihat keramaian kota tapi tak seramai kota Jakarta. Bangunan rumah disana bentuknya rumah tinggi dengan tembok kayu, masih tradisional sekali. Kebanyak penduduk di sana masih bertani sebagai mata pencariannya
Tepat sabtu jam 11 malam aku sampai di rumah nenekku. Aku tidak melihat perjalanan menuju padang karena aku terlelap. Aku rindu sekali bangunan yang ku lihat, rumah nenekku yang terakhir ku kunjungi umur 5 tahun yang lalu. Persis sama tidak berubahsama sekali hanya ada retak-retak di tembok akibat gempa pada tahun 2009 lalu. Setibanya di sana aku di sambut dengan hangat. Mereka kaget melihatku sudah remaja sekarang.
Pagi hari ku terbangun, terdengar suara-suara di luar. Ternyata saudara-saudara di sekitar rumah nenekku sudah kumpul. Mereka meyambut kedatanganku. Lalu pamanku mengajakku ke pantai tapakis. Pantainya lumayan dekat dari rumah. Pantainya sangat bersih dengan pasir putih. Disini pantai sangat dekat dan bersih, beda dengan Jakarta dengan pantai yang kotor dan jauh. Dan berkeliling daerah desa ku. Sawah-sawah masih banyak, jalanannya masih sepi tidak padat seperti di kota. Antara rumah dengan rumah yang lainnya berjarak jauh. Sambil melihat-lihat rumah yang terkena gempa, ada yang sudah hamper hancur tapi tetap di huni. Bahaya sekali tapi mau bagaimana lagi mereka harus tinggal dimana lagi sedangkan bantuan yang di terima dari pemerintah tidak cukup untuk membuat rumahnya kembali. Hanya ada rumah bantuan sementara yang kecil dan tidak cukup dihuni seluruh keluarga.
Kebetulan sekali aku pulang kampung, teman kecilku bernama dessy. Dia akan menikah, sudah lama aku tak berjumpa dengannya. Aku pun berkunjung kerumahnya untuk berbincang-bincang. Di biliknya kita mengobrol tentang masa kecil.
“aku dijodohkan dengan pria pilihan ibuku” dengan wajah sedih dessy tertunduk.
“lalu?” jawabku
Dengan menghela nafas “aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa menurut dengan keputusan orang tuaku, padahal aku sudah mempunyai kekasih, hubungan kami sudah 3 tahun. Dan kini aku dengan orang lain, bukan dengan kekasihku” air matanya perlahan jatuh.
Aku memeluknya dan mengusap punggungnya, aku tak tahu harus menjawab apa. Hanya bisa mendengarkan curahan hatinya sebelum besok hari resmi itu tiba. Bila aku pun jadi seperti dia, mungkin aku juga tidak berbuat apa-apa selain menuruti kedua orang tua. Kekasihnya pun tidak bias malakukan apapun, memang ini yang dinamakan perjodohan.
Hal seperti ini masih banyak terjadi di suku minang, perjodohan seperti zaman siti nurbaya. Menurut para orang tua, ini yang terbaik bagi mereka tapi belum tentu terbaik untuk anak-anaknya. Mereka ingin anaknya menikah dengan suku yang sama yaitu suku minang untuk tetap menjaga kelestarian keluarga suku antara minang.
Di adat minang beda dengan pernikahan dengan adat yang lainnya. Adatnya wanita membeli pria sesuai dengan jabatannya. Karena menganut system warisan untuk perempuan. Memang terdengar aneh adat seperti itu. Namun adat tidak dapat dirubah sampai kapanpun. Malam itu, Malam Bainai, Bainai artinya melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang dalam istilah Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku jari calon pegantin wanita. Bisa dilakukan oleh siapa saja. Tumbukan halus daun inai ini kalau dibiarkan lekat semalam, akan meninggalkan bekas warna merah yang cemerlang pada kuku. Yang mempunyai arti Melindugi si calon pengantin wanita dari segala kejadian yang dapat mengganggu lancarnya perjalanan acara-acara yang akan dilaksanakan, baik yang didatangkan oleh manusia yang dengki maupun oleh setan-setan. Dan juga Untuk membersihkan dan mensucikan si Calon Pengantin secara lahiriah dan badaniah. Serta untuk melakukan berbagai usaha agar si calon Pengantin nampak lebih cantik dan cemerlang selama pesta-pesta perkawinannya.

Pengantin mengenakan baju Kurung nuansa merah, kuning keemasan dan suntiang gadang yang terlihat berat di gunakan di kepala pengantin wanita. Dan pengantin pria menggunakan warna yang sama dan memakai keris di pinggangnya sebagai penghias. dengan baju pengantin adat Minang baju kurung dengan pelaminan kebudayaan India dan kebudayaan Cina pada corak dan motif ornamen-ornamen kain sulamannya. Bentuk hiasan kepala pengantin Wanita Minang yang dipakai secara umum sekarang, namanya suntiang gadang, berasal dari daerah Padang/Pariaman. Kata gadang berarti besar. Ini untuk membedakan, karena ada juga suntiang ketek (kecil) yang biasa dipakai oleh pendamping-pendamping pengantin yang disebut pasundan.
Penyusunan kembang-kembang sunting ini diatas kepala pengantin wanita mengikuti deret ganjil. Paling tinggi sebelas tingkat, dan paling rendah tujuh tingkat. Sedangkan sunting untuk para pasundan, dimulai dari deret lima sampai tiga. Ada empat jenis nama kembang goyang yang disusun susun diatas kepala untuk membentuk sunting Minang tersebut. Lapisan-lapisan paling bawah dinamakan bungo arunai yang deretan terdiri dari tiga sampai lima lapis. Kemudian deretan bungo gadang yang deretannya terdiri dari tiga sampai lima lapis lagi. Dan yang paling diatas ialah deretan kambang goyang. Sedangkan bagian-bagian yang jatuh ke arah pipi kiri dan kanan, disebut kote-kote.
Dan kemudian dilanjutkan dengan mencuci kaki yang dilaksanakan oleh ibu anak daro, ritual ini menandakan bahwa marapulai diterima dengan iklas lahir batin oleh keluarga anak daro. Bila ada perselisihan dan pertengkaran antara kedua keluarga tersebut, selesai sampai di situ saja dan kini kedua keluarga sudah menyatu. Kemudian sang marapulai berjalan diatas kain putih yang langsung digulung karena tidak boleh diinjak oleh siapapun selain marapulai. Ritual ini menandakan mempelai membangun keluarga baru yang Insya allah tidak akan diganggu oleh siapapun. Kemudian kedua mempelai didudukan diatas pelaminan.


Wajah desy terpaksa tersenyum palsu menyambut tamu yang datang. Ku melihat dari pojok tidak ada komunikasi sama sekali dari mereka berdua hanya sibuk menyalami tamu yang datang dengan senyum palsu. Melihat dessy sangat pegal menggunakan suntiang gadang yang berat itu. Pesta telah usai, tamu sudah sepi dan suara lagu pun sudah berhenti.kami berkemas-kemas membereskan peralatan pesta. Pengantin wanita melepas suntiang yang amat berat itu. Pesta telah selesai, semua orang sudah beristirahat.

Banyak kisah yang ku lalui di kampung. Ikut ke mesjid untuk mengantarkan makan untuk para pekerja membangun mesjid akibat gempa. Melihat paman memetik kelapa dengan monyet. Suasana yang sangat ku rindukan sepi jauh dari keramaian kota. Esoknya ku di ajak paman ke pekan baru (Riau) butuh waktu 9 jam untuk menuju ke riau. Dengan jalanan yang berkelok-kelok dan tepat di bawahnya ada danau. Tibanya di riau kami berkeliling menikmati perjalanan. Riau hampir sama bahasanya dengan padang tapi mayoritas mereka menggunakan bahasa melayu. Setelah berkunjung kerumah saudar kami kembali ke padang. Melewati bukit tinggi, enak sekali cuaca di sana dingin karena daerah pegunungan.
Esoknya aku pergi ke pantai pariaman dengan pamanku. Kami makan di pinggir pantai menikmati pemandangan pantai yang bersih. Disana ada pulau angsa, hanya cukup membayar 3000 saja. Di padang makanannya tergolong masih murah, beda dengan Jakarta. Kami naik perahu ke pulau angsa, indah sekali di sana banyak angsa-angsa yang cantik. Sungguh pantai yang bersih. Sorenya aku hendak ingin pulang ke Jakarta karena aku pasti sudah banyak ketinggalan pelajaran. Pamanku memesan tiket untukku, aku pulang naik pesawat sendiri tanpa pamanku karena dia masih ada keperluan. Ini pengalaman baru bagiku naik pesawat sendiri. Biasanya aku naik pesawat dengan kedua orang tuaku.
Pamanku mengantarkanku di bandara minangkabau. Aku memberanikan diri untuk pulang sendiri. Hanya menikuti petunjuk-petunjuk yang ada. Pesawatku jam 19.00, sungguh menakutkan sendirian tanpa ada yang menjagaku. Ketika malam itu hujan deras di Jakarta. Ku melihat pemandangan malam di kota Jakarta dari atas, terlihat lampu-lampu yang banyak. Tepat 21.00 aku tiba di bandara soekarno hatta. Aku naik damri sampai bekasi dan kakakku menjemput. Dirumah aku bercerita semua kepada ibuku tentang di kampung . aku rindu suasana kampung yang tak dapat ku temukan disini. Dan nampaknya aku tidak bias hidup di kampung yang jauh dari keramaian. Aku sudah terbiasa dengan keadaan disini rindu dengan keluargaku dan teman-teman. Ini merupakan pengalaman yang tak terlupakan bagiku. Dessy, sahabat kecilku semoga kamu bahagia walaupun bukan dengan orang yang kau cintai. Itu pilihan terbaik dari orang tua mu, pasti setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anank-anaknya. Semuanya pasti akan indah pada waktunya.


10 Desember 2010
-Rita Nurvia-



0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More