Rabu, 27 April 2011

Tanda Silang Pedagang Tahu Keliling

Terik terasa menyengat menembus genting rumah, atau Ia menyelinap diam-diam tanpa permisi melewati celah-celah ya? Pikirku . Penasaran ku mengendap menghampiri garden dan melongok di sela-sela tirai yang terjuntai.


“ Tak ada yang aneh akh, suasana diluar pekarangan rumah masih seperti biasa kok,” tak mau kalah hati saya pun bergumam. Masih tetap sama penuh dengan tanam-tanaman suplir, rumput dan bunga-bunga kertas milik Bunda yang menghijau namun tetap tak meneduhkan ke dalam isi rumah yang saya pijaki.
Lagi-lagi pikiran saya  semakin heran, terpaksa saya lengkingkan suara agak keras agar terdengar seisi rumah.
“ Bun, gordennya sengaja ya di tutup siang-siang?” Tanpa ragu saya bertanya.
“Iya De, terik hari ini begitu menyengat dan silau sekali, makanya Bunda tutup saja, lagian tidak akan ada tamu hari ini.” Suara bunda yang begitu yakin dan terdengar sayup-sayup dari kejauhan kamarnya yang terhalang ruangan tamu.
“owhhh….” hanya kata itu yang pas mewakili semua keheranan yang saya pertanyakan.
            Siang ini tepatnya 12.45 WIB, awal pekan yang hambar bagi saya, terasa malas sekali badan ini tuk melakukan aktivitas, terlebih lagi tidak ada jadwal kuliah hari senin, daripada saya pusing berpikir ingin melakukan apa, saya ikat sebelah tirai biru muda yang menjuntai indah begitu sembarang pada tempatnya.
“Sreeeek,” terdengar lingkaran besi pengait dan besi penopang saling bergesekan.
            Tak ragu saya pun merebahkan badan sejenak diatas sofa, ada apa dengan saya ? itu pertanyaan yang berulang-ulang saya ucapkan namun tak memiliki jawabannya.
“akhhhh,” desahan pelan jeritan hati saya pun tak tahu apa sebenarnya yang membuat saya begitu tak nyaman siang ini. Saya tutup bantal saja wajah dengan harapan terlelap di cuaca siang yang tak menentu .
            Beberapa menit kemudian terdengar sayup-sayup dari kejauhan, semakin dekat dan terus-menerus semakin keras menghampiri.
“Tahuuuu,, tahuuuu,, tahuuuuu,” suaranya keras dan nyaring, sesekali terdengar bunyi,
“Kring,, kring..” suara bel sepeda pada umumnya.  Saya beranjak  bangun dan tergesa-gesa menghampiri gagang pintu dan melongok dari balik pintu.
“ Beli bu, tunggu ya.” Saya percepat langkah menghampri gerbang sejauh sepuluh meter dari pintu yang telah terbuka. Mata ini semakin lama semakin jelas mengamati, tiba-tiba saya terperangah dan bertanya.
“ Tahu gejrot bukan Bu?” Tanpa ragu pertanyaan itu menyambar saja bak petasan menyambar setelah sumbunya dinyalakan api.
“ Bukan nenk, ini tahu cina, untuk di masak,” begitu jawaban santunnya.
            Sekilas saya amati sesosok ibu berumur 50-an dengan rambut putih yang hampir memenuhi seluruh bagian atas kepalanya, kerutan-kerutan yang begitu nyata menghiasi wajahnya, sesekali menyunggingkan senyum yang semakin menampakkan kerutan di pangkal matanya, betapa tuanya Ia masih mencari nafkah di usianya yang sudah tak muda lagi. Saya sangat teralihkan pada keringatnya bagai air bah yang bercucuran memenuhi dahi turun ke lehernya begitu deras, sungguh  menandakan betapa terik sekali siang ini. Tak luput dari perhatian saya adalah teman setianya, walau mengangkut beban begitu berat Ia tetap kokoh menemani sang empunya berkeliling-keliling, dalam suasana panas mencari seonggok untung yang tak seberapa besar namun mampu memenuhi sebagian kebutuhannya, ya dialah sepedanya.
“Boleh ngobrol sedikit Bu? tapi ibu jangan khawatir, saya beli dagangan ibu juga ya,” perlahan tapi pasti itulah pertanyaan yang pertama saya lontarkan.
“Tenang aja nenk nggak apa-apa kok,” Ia berusaha meyakinkan memang saya tidak mengganggu dirinya berjualan.
“ Oia, nama Ibu siapa? Lalu berjualan tahu ini sudah lama?”
“Nama saya Surti, alhamdulilah sudah 2 tahun nenk.” Sekilas Ia menerawang berusaha mengingat apa yang diucapkannya.
“ Harga satuannya berapa Bu? Dan biasanya sehari ibu laku berapa menjual tahu cinanya ?”
“ Harga satuannya Rp 3500, Alhamdulillah juga ya nenk, setiap hari selalu habis 50 tahu cina sehari.”
“ Berarti pendapatan ibu sehari Rp 175.000,00 ribu perhari ya? Tahunya ibu buat sendiri atau membeli dari orang?”
“Ya segituan nenk, nggak , ini ibu dapat langsung dari pabriknya, kebetulan suami ibu kerja di pabrik tahunya, ibu bantu-bantu jualan kayak gini aja , kalau dari sini gak jauh-jauh amat nenk, pabriknya di Desa Sukadanau Kp Tangsi, nama Pabriknya Tahu Purnama.”
“Lihat kondisi seperti ini apa ibu tidak lelah ya mendayuh-dayuh pedal sepeda dengan beban tahu cina sebanyak lima puluh biji,  satu tahu hampir setengah kilo lho Bu,” tak ragu saya ambil satu biji tahu cina dan menimang-nimangnya.
“Sudah terbiasa nenk, kadang Ibu jualannya dua balik muter dua perumahan berbeda dalam sehari, maklum nenk Ibu punya lima anak dan masih punya anak bungsu yang sekolah kelas 6 di SD Sukadanau sana.”
“Boleh tahu harga dari pabriknya berapa Bu? Saya kagum kepada Ibu yang tak kenal lelah demi keluarga. Saya ingin berkunjung ke pabrik boleh tidak ya Bu? Saya beli  empat biji ya Bu tahunya.”
“ Sekitar tiga ribuan, iya nenk silahkan aja, boleh nenk boleh.”
       Bu Surti begitu cekatan mengambil tahu cina setiap buahnya di masukan ke dalam plastik bening seukuran besar tahu cina dan memasukkan ke dalam kantong kresek hitam satu demi satu sebagai tanda sudah selesai pengemasan yang dilakukannya.  Saya rogoh saku mengambil uang sepuluhan dan lima ribuan.
“Ibu makasih banyak ya waktunya, terima kasih mau ngobrol-ngobrol sebentar, mau masuk dulu main ke rumah saya?”
“Tidak usah nenk, nanti ibu nggak jualan donk?” Sedikit terkekeh Ia mengakhiri obrolan siang yang ditengah terik depan rumah saya pada hari senin, 25 April 2011 ini.
       Saya acungkan setinggi wajah kantong plastik berisi tahu cina sejenak, sungguh wanita tangguh, tak kenal lelah di usianya yang semakin senja, saya semakin penasaran tentang kehidupan dan keluarganya.
       Ada yang ingin begitu saya ketahui tanpa bertanya pada Bu Surti langsung tentang sesayat luka berbentuk silang dipipi kirinya. Sama seperti tanda di drum kecil wadah tahunya.
       28 April 2011 saya mencoba mencari pabrik Tahu Purnama, ternyata tidak sulit, seperti sebuah keberuntungan berpapasan langsung dengan Bu Surti dari arah yang berbeda. Ia berhenti mengayuh sepedanya, lalu menyapa.
“ Nenk, jadi yaa kesini?”
“ Iya Bu, tapi saya hanya lewat saja dulu, saya siang ini ada kuliah pukul 13.00 WIB terlebih dahulu, kapan-kapan saya mampir ya. Masih bolehkan ya Bu?” kusunggingkan senyum sebagai tanda memohon.
“Ohhhh, iya nenk iya, hati-hati aja ya.”
“iya Bu terima kasih.”
            Saya perhatikan sejenak tanda silang diwajahnya, setelah berbalik badan saya perhatikan tanda silang pada drum kecil tempat tahu Ibu Surti. Tak hilang akal , ada seorang satpam yang menjaga pintu gerbang pabrik tahu ini. Maka, saya bertanya sambil menunjuk tangan kea rah punggung Bu Surti.
“Maaf pak, boleh bertanya? Bapak kenal ibu itu?”
“Ohhhh, Bu Surti? Kenal, kenapa ya Mba?”
“Tanda silang di pipinya kenapa ya? Mengapa sama dengan tanda silang di drum kecil tahunya ya Pak?”
“Jadi gini nenk, waktu itu Bu Surti berniat mau memberi tanda pada drumnya, karena dari besi kan harus dipanasin dulu, pas besi tanda silang nya udah merah mau di tempelin ke drum, Bu Surti kesandung terus jatuh, tapi posisi jatuh si besi panas itu ketiban sama pipinya.”
“Astagfirullah, kasian sekali ya Bu Surti.”
“ Iya ne mba kasian banget.”
“Terima kasih informasinya, saya permisi ya Pak.”
         Sepanjang perjalanan saya ingat wajah Bu Surti, banyak sekali dari sikapnya yang perlu dicontoh, kemauannya, kerja kerasnya, semangatnya, semua ada pada dirinya. Sejak saat itu saya semakin menghargai betapa indahnya hidup ini. Harus banyak bersyukur atas apa yang telah kita miliki.
                                    ***

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More