Minggu, 24 April 2011

Penyesalan Si Buta Huruf


Siang hari ini rasanya matahari begitu dekat panasnya seakan membakar kulit, di atas gedung – gedung setengah jadi itu terlihat sekumpulan pria berbadan kekar namun penuh keringat dengan pakaian yang lusuh dan sebagian lagi bahkan bertelanjang dada. Di lemparnya serpihan-serpihan genting berwarna coklat itu dari pekerja yang berada di bawah kepada pekerja di atas. Tanpa pengaman tubuh, mereka tidak pula menjadi resah.


Saat itu saya sedang menuju perjalanan pulang dari kampus dengan mengendarai sepeda motor kecepatan 20km/jam perlahan saya melihat diantara para kuli bangunan itu ada sosok yang sangat saya kenal, kamal pria 18th ini adalah paman  saya atau lebih tepatnya “mamang” begitulah pangilan untuknya karna saya dan dia memang orang betawi yang asli bekasi. meskipun usia saya dua tahun lebih tua darinya namun karna sang ibu dari  kamal adalah adik nenek saya jadi dia di anggap lebih tua , lahir dan besar di bekasi, namun nasibnya tak seberuntung saya yang bisa sampai kejenjang kuliah, sempat mencicipi Sekolah Dasar namun langkahnya tersendak di tengah jalan.
Melihat begitu berat kerja kerasnya sekarang demi kelangsungan hidup, sejenak saya terkenang akan memori di masa kecil saat saya dan kamal masih anak-anak, Kamaluddin adalah nama lengkapnya namun temannya sering memanggilnya “Kemel”. Dari kecil dia memang sudah nakal, semasa Sekolah Dasar saja dia sering bolos sekolah bersembunyi di bawah pohon pisang belakang sekolah, Ersi orang tua nya yang hanya bekerja sebagai kuli cuci pun sudah lelah menasehatinya untuk rajin belajar, sampai akhirnya dia memilih untuk berhenti sekolah di kelas 2 SD.
Setelah berhenti sekolah kegiatannya hanya main dan main, pernah Ersi sang ibu menceritakan kepada saya, sesekali terlihat Kamal malah asik memukulkan benda yang terbuat dari bekas tutup botol yang di paku pada sebatang kayu sambil membawa bekas bungkus permen dengan riang dia mengitari kompleks perumahan yang tidak jauh dari perkampungan tempat dia tinggal, disaat sedang asik bernyanyi di depan pagar rumah mewah datanglah seorang wanita menuju pagar sambil memegang selembar uang berwarna merah 100 rupiah, namun mata Kamal malah melotot dengan mulut menganga, sayangnya dia bukan kaget dengan uang itu tetapi kaget karna orang yang bermaksud memberinya uang adalah Ersi ibunya sendiri, si Ibu pun sama kagetnya dengan kamal, mengetahui kegiatan anaknya, ibunya pun kesal dan melarangnya untuk mengamen, sayangnya hal itu hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Dari arah barat matahari nampak tenggelam kini panasnya matahari tadi siang di gantikan cahaya rembulan  yang menemani dinginnya malam setelah hujan di sorenya, seperti biasa sepulang kuliah saya menjaga warung kelontong milik keluaga. Sambil menunggu pembeli saya duduk di kursi yang terbuat dari bambu yang terletak di depan warung, sesat kemudian muncul sosok pria berkulit hitam, berambut ikal, tingginya sekitar 170cm, mengenakan celana jeans pendek dan berkaos merah sosok yang sama saya lihat siang tadi sepulang kuliah, iya dia kamal tapi kali ini dia terlihat lebih segar dan bersih ketimbang siang tadi mungkin karna dia sudah mandi, sesampainya di warung saya pun beranjak dari duduk untuk menghampirinya, dia membeli 2 batang rokok kemudian duduk di kursi bambu tempat saya duduk tadi saya pun kembali duduk di kursi bambu yang cukup panjang itu , tiba-tiba terdengar bunyi handphone dari saku celananya “teng….…tereng..” di keluarkannya handphone CDMA berwarna orange berbentuk slim dengan layar kecil ukuran  4,45 x 10,8 x 1,29 cm. Rupanya ada SMS masuk, belum sempat membuka pesan tersebut raut mukanya terlihat kemerah-merahan tampak malu kamal mengulurkan tanagannya lalu memberikan handphonenya kepada saya, dan meminta saya untuk membacakan isi pesan tersebut, rupanya pesan tersebut datang dari kekasihnya, karna di kontak pun tertulis nama “nita syg”. Saya menatap heran kearahnya dengan mengernyitkan dahi, kenapa dia tidak buka sendiri sms ini?
 Melihat ekspresi saya tanpa menunggu saya bertanya dia berkata,
 “gue kan kaga bisa baca”.
Dengan sigap saya pun langsung membacakan pesan dari nita sang pacar, selesai membacanya, dia pun kembali meminta tolong, dan berkata
“ sekalian ya balesin smsnya, gue ga ngerti, gue lagi kaga ada pulsa buat nelpon!”
Saya pun hanya tersenyum, sambil jari jemari saya sibuk menekan tombol-tombol handphone sambil sesekali mendengarkan perkataan yang dia ingikan untuk SMS balasan.
Pantas saja jika selama ini saya melihat dia lebih sering menempelkan handphone di telinganya ketimbang memetikan jari di atas tombol-tombol handphone, dan selama ini nita tidak tahu bahwasanya kamal sang pacar tidak bisa baca tulis alias buta huruf, kalaupun ada SMS kamal  minta bantuan temannya atau terpaksa meminnta rangga adiknya yang duduk di kelas 5SD untuk membacakannya atau bahkan membalas sms-sms tersebut. Berat rasanya menerima kenyataan kini adiknya lebih pintar di banding dia. Penyesalan memang selalu datang belakangan, itu yang ia rasakan saat ini,
“ coba aja dulu gue rajin sekolah, ga gini jadinya”.
Itu lah kata-kata yang di ucapkan dia selesai saya bacakan sms dari kekasihnya.
Ceritanya lagi setelah mengirim sms kepada Nita, Pernah suatu kejadian temannya menulis sebuah syair lagu dan memintanya untuk menyanyikannya bersama. Seperti biasa dengan wajah memerah dan mulut yang agak terbata-bata, dia bilang “ gw ga bisa baca”. Dan akhirnya sang teman bernyayi sendiri.
Kamal bilang , tulisan yang dia bisa Cuma menulis namanya yaitu,” K-A-M-A-L”.karna ia Tuna Aksara bukan berarti dia juga buta angka masalah uang dan hitung–menghitung ia cepat, seperti sebelum duduk dibangku warung dia membeli dua batang rokok dengan uang 5.000 rupiah dia tau  jumlah kembaliinya sebesar 3.000 rupiah.
Banyak hal yang di sesalih kamal karna buta huruf. Semisal Saat adiknya di rumah asik bermain dengan komputer dia hanya bisa melihat tanpa tau menggunakannya alias gagap teknologi, pekerjaanya yang bisa di lakukannya hanyalah menjadi kuli bangunan pekerjaan yang sungguh sangat menguras tenaga.
Tidak ada kata terlambat untuk belajar walaupun usianya kini sudah bukan anak-anak lagi tidak ada salahnya untuk kembali belajar membaca dan menulis, meski pepatah mengatakan belajar di waktu kecil bagaikan mengukir dia atas batu sedangkan belajar setelah dewasa bagaikan mengukur di atas air, sekeras apaan kesulitan belajar setelah dewasa dengan tekat dan keinginan yang kuat untu menjadi bisa tidak ada yang tidak mungkin.
Mendengar keluhnya akan buta huruf saya menyarankannya untuk menggambil sekolah kejar paket A, kelihatannya dia tertarik untuk ikut dalam sekolah tersebut meskipun untuk saat ini dia masih berfikir ulang untuk sekolah.

Sefti Dwi Mirantika
41182037080005
Ilmu Komunikasi
rara_ipa3@yahoo.co.id


0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More