Sabtu, 30 April 2011

BUKAN GEPENG BIASA


Tahun demi tahun jumlah gelandangan dan pengemis (gepeng) di Bekasi makin bertambah. Hingga kini  tidak ada solusi yang tepat untuk mengatasi hal itu. Gepeng tersebut hampir tersebar di seluruh wilayah Kota Bekasi, apalagi paling banyak berada di Wilayah Bekasi Timur misalnya saja Daerah Rawa Panjang dan Bantar Gebang. Kehidupan gepeng di Bekasi sendiri dapat ditabulasi dalam beberapa  jenis. Pertama, ada gepeng yang bekerja di sektor informal seperti  mengamen, sebagai buruh dan asongan, kedua hidup menggelandang sebagai tunasosial, ketiga menjadi pengemis, keempat sebagai joki three in one dan tunasusila dan sisa lainnya tidak jelas. Melihat hal itu maka gepeng menjadi masalah yang harus  ditangani secara serius di lapangan. Tetapi cara penanganan gepeng yang terkesan masih menggunakan cara-cara  konvensional seperti penertiban oleh aparat Tramtib yang terkadang  terkesan berlebihan, dalam sejumlah kasus bahkan dengan tindakan  brutal. Tapi, toh upaya mengatasi gepeng tetap tidak membuahkan hasil malah operasi penertiban yang dilakukan aparat  Tramtib Bekasi cukup efektif mengurangi maraknya para gepeng di  tempat-tempat umum meski caranya tidak manusiawi. Tetapi cara seperti itu  tidak membuat para gepeng meninggalkan aktivitasnya.


Dalam hal ini, seyogianya cara-cara seperti penggarukan  gepeng harus diimbangi dengan kebijakan sosial-ekonomi yang mampu  mengentaskan mereka dari kemiskinan. Cara-cara ini hanya mampu  mengatasi masalah jangka pendek. Dalam persoalan gepeng, Dinas Sosial Kota Bekasi telah menyusun program jangka panjang. Program ini  misalnya saja dengan membuat kebijakan pemerintah yang mampu  menjamin hak-hak sosial-ekonomi masyarakat. Tanpa ada jaminan  hak-hak sosial ekonomi melalui program jaminan sosial maka jumlah  gepeng akan terus meningkat. Di samping itu, perlu adanya kerja sama dengan pemerintah daerah  asal gepeng itu untuk membuat program penciptaan lapangan kerja di  lokasi asal gepeng. Sebagian besar gepeng yang mengais rezeki di  Bekasi berasal dari daerah luar Kota Bekasi sendiri.

Meski statusnya sebagai gelandangan atau pengemis (gepeng), kehidupan sebagian mereka ternyata tak terlalu melarat. Ada yang bisa beli HP bahkan punya kemampuan berbahasa Inggris dan juga bisa mensekolahkan anaknya sampai Universitas atau Perguruan Tinggi ternama. Ada juga kisah unik di balik kehidupan para gepeng. Misalnya saja Darto (57) salah seorang pengemis asal Cirebon menuturkan, “ penghasilan saya dalam sehari alhamdulillah mencukupi bahkan bisa dibilang lebih dari cukup karena jika saya pergi hanya setengah hari saya bisa mendapatkan hasil kurang lebih Rp 100.000 bahkan bisa lebih, apalagi jika hari jum’at penghasilan saya bisa bertambah jadi dua kali lipat karena biasanya habis sholat jum'at banyak para jemaat yang ngasih ,” ujarnya Minggu (27/12/2010). Bukan itu saja, dari penghasilannya itu ia bisa membeli sebuah handphone dan mengontrak untuk tempat tinggalnya sendiri dan ia sendiripun telah mepunyai dua istri dikampung halamannya itu, seperti gepeng yang lainnya, untuk urusan razia Darto sangat takut dan pasrah bila suatu saat harus dibuang ke kota lain dan tidak kembali ke Bekasi atau kedaerah asalnya yaitu Cirebon. Dan disamping itu juga pada hari jum’at tanggal 25 desember 2010 saya mempunyai pengalaman yang sangat unik ketika saya dan teman saya yang bernama novi sedang mengerjakan tugas investigasi tentang gepeng yang ada di wilayah Bekasi, disaat itu kami mengelilingi kota Bekasi agar berharap bertemu dengan gepeng yang sedang mengemis tetapi setelah kami cari seharian, kami tidak menemukan seorang gepengpun dijalanan dan akhirnya kami memutuskan untuk pergi kedaerah Plaza Pondok Gede dan ternyata disitu kami menemukan banyak sekali gepeng yang sedang beroperasi. Kami memutuskan untuk mengamati salah satu gepeng yang ada didepan Plaza itu, dengan cara berpura-pura menunggu teman sambil duduk-duduk ditrotoar pintu depan masuk parkiran Plaza, padahal sebenarnya disitu kami sangat takut karena dia sepertinya mulai curiga terhadap kami tapi kami tetap mengawasi semua gerak-gerik gepeng tersebut sampai akhirnya gepeng tersebut pulang, tetapi kami masih belum beranjak dari trotoar tersebut. Sampai hampir pukul 20.00, kami beranjak untuk pulang, dan disaat kami sedang menunggu angkot ternyata gepeng tersebut sedang menjajaki dirinya kepada sebagian orang yang lewat, akhirnya kami memutuskan untuk mengawasinya lagi sampai hampir dia mendekati kami dan kami langsung naek angkot untuk pulang, dengan muka takut kami masih terdiam sejenak. ternyata apa yang kami dapati hari itu bahwa setelah siangnya dia mengemis, malamnya dia jadi pelacur didepan Plaza Pondok Gede. lalu setelah dua hari berselang kami kembali lagi ke Plaza Pondok Gede disitu kami berpura-pura belanja pakaian dan nongkrong ditempat yang sama yaitu trotoar pintu depan masuknya parkiran Plaza itu, kami mengamati pengemis yang sudah kami amati dan tenyata dia melakukan hal yang sama seperti waktu itu.

Dalam kasus Gepeng ini banyak pula orang yang sengaja menyamar kehidupannya dari kehidupan yang sebenarnya contohnya :
Ada orang yang tidak sadar bahwa dirinya sebenarnya adalah orang miskin yang  berlagak kaya dan tidak mau disebut miskin. Kemiskinan menjadi aib baginya.

Ia berusaha tampil layaknya orang kaya, belagak mentraktir teman-temannya walaupun untuk itu harus rela hutang, faktanya ia tetap miskin. Dan semua orang disekitarnya tahu percis fakta itu, mereka menganggapnya orang yang sok kaya, ngga tau diri. “Miskin aja belagu!” kata mereka.


Ada pula orang miskin yang bangga disebut miskin dan kemudian oleh para politisi pinggiran di provokasi dan dibuatkan wadah ‘gerombolan orang-orang miskin’ untuk melegitimasi kemiskinannya, yang kemudian menjadi komoditas politik semata. Karena kemiskinan sebagai komoditi maka mereka tidak rela jika kemiskinan itu dihapuskan, karena jika demikian mereka tidak memiliki nilai jual dan nilai tawar secara politis.
Dan ada yang kaya raya tapi pura-pura miskin. Biasanya orang seperti ini memiliki tujuannya tersendiri seperti untuk menghindar dari pajak dan investigasi KPK. Ada juga yang tadinya miskin terus ujung-ujungnya menjadi kaya, kemudian mengalami mental shock, mentalnya tidak siap jadi orang kaya, gayanya jadi belagu, lucu dan culun. Walaupun sudah melakukan perubahan penampilan dan belajar manerima tetap saja jiwa miskinnya masih terbawa-bawa.

Ada juga yang miskin dan ia sadar akan kemiskinannya tapi ia tetap berdiri tegak, baginya kemiskinan hanyalah ujian, ia jalani itu dengan rasa syukur. Kemiskinan ataupun kekayaan sama-sama sebagai ujian. Ia tidak mengeluh, tidak juga meng-aduh. Ia tidak terprovokasi oleh propaganda politik. Ia selalu tersenyum menghadapi dunia ini. Semua ia jalani dengan penuh kesadaran. Ia boleh miskin harta, tapi ia memiliki kekayaan bathin yang tak
terkirakan.

Nur’aidah
41182037080011
Semester VI






0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More