Rabu, 06 Juli 2011

Luhur Dengan Syukur

Ini cerita di hari yang seharusnya menjadi minggu tenangku menghadapi Ujian Akhir Semester. Ada beberapa kuliah yang masih harus menutupi kekurangan kehadiran proses belajar mengajar di minggu-minggu yang lalu, dan salah satunya kuliah Multimedia. Ini adalah hari rabu 29 Juni 2011. Langkahku gontai menapaki jalanan aspal di Universiats Islam 45 Bekasi (UNISMA). Sepanjang perjalanan pulang dari laboratorium Komunikasi dibenak berputar-putar tentang second planning . Tak terasa langkah kaki menghantarkanku tepat berada di pintu gerbang utama UNISMA , sesaat ku berdiri dan menengok kiri dan kanan, dengan penuh keyakinan kulihat jam tangan yang selalu melekat, sore ini tepatnya pukul 15.00 WIB, ya inilah second planningnya, aku putuskan untuk pulang ke Majalengka sore ini saja, dengan cepat ku rogoh handphone dan kutulis cepat.
A, punten sauwihna Aa voli ti Kuningan enggal uwihnya, Devi ngantosan di bumi sareng si Aa, wengi ieu wae wawancarana nya A. Devi bade uwih ayena, naik bus ti Bekasi.
(A, Mohon sekali ya sepulangnya Aa voli dari Kuningan untuk cepat pulang, Devi menunggu dirumah Aa, malam ini aja wawancaranya ya A. Devi mau pulang sekarang, naik bus dari Bekasi)
Laporan terkirim sudah kuterima, tinggal menunggu balasan dari orang yang ku kirimi sms tadi.
Sesaat kurasakan bergetar-getar handphone di saku celanaku, satu pesan kuterima, kubuka kotak masuk bertulis,
Mangga teu langkung, kumaha saena wae, da Aa dugi ka bumi wayah mangriban, nya sok ati-ati wae di jalanna nya.
(Gimana baiknya, gimana bagusnya aja, karena Aa juga sampai rumah magrib, hati-hati aja dijalannya ya).
Merekah sekali yang kurasakan bibirku senyum lebar-lebar, jika ada yang melihat pasti menganggapku sedikit gila. Kali ini aku menengadah, agak lama ku tatap langit sore ini, cuaca Bekasi kali ini terasa lain, langit berwarna keabu-abuan pertanda mendung, sorot matahari yang biasanya memancar terang dari barat dan itu sangat menyilaukan saat matahari tepat berada di hadapan menyinari bila kita berdiri di gerbang pintu masuk utama UNISMA pukul 15.00 namun kini ia meredup. Mendung belum berarti hujan, itu yang aku yakini pada diriku sendiri, ku langkahkan kaki menyusuri tepi jalanan depan UNISMA menuju arah utara, kulewati jembatan yang sering disebut jembatan UNISMA, aku percepat langkah karena kulihat mobil bercat biru dengan gambar gedung-gedung menjulang tinggi disepanjang sisi samping kiri dan kanan mobilnya. Walau berdiri diam saja, tentunya bukan hanya menunggu aku, tapi penumpang lainnya, tapi aku merasa ingin cepat-cepat tepat berada disampingnya, dan kini setelah kulewati tanda penyebrangan pejalan kaki, akhirnya aku sampai juga berada dipintu masuk Bus Bintang Senepa jurusan Bekasi - Rajagaluh (Majalengka). Satu kaki kanan sudah aku ayunkan, tapi aku ulur lagi kebelakang dan berbalik, aku menghampiri warung disisi jalan. Sayup-sayup terdengar kernet dari kejauhan mengatakan, " Nenk, mau kemana sebentar lagi berangkat?", tanpa kutengok , aku menjawab sekenanya saja " Beli minum dulu ya pak".
Aku menghampiri warung tanpa basa basi meminta bapak berambut agak keputuhan itu satu tablet antimo dan sebotol aqua, setelah selesai aku rogoh beberapa saku uang receh ribuan, kubalik badan untuk cepat mencari posisi tempat duduk yang nyaman. Hari ini lumayan senang karena ini keburuntunganku dapat tempat duduk tepat seperti yang aku mau di belakang supir busnya .
Bus ini perlahan melaju dengan pelan, 20km/jam menyusuri jalan melewati BluePlazza, gedung DPRD Bekasi, RS Mitra keluarga Tol Timur,dan beberapa ruko-ruko berderet begitu rapi. Busnya sempat terhenti ketika lampu merah, masih kupandangi satu tablet kecil berwarna merah muda obat yang aku beli, sesekali tersenyum sendiri menatapnya, ya aku ingin menertawakan kekonyolanku, sebenarnya hari ini aku begitu tak enak badan, namun aku tak punya waktu lagi untuk menunda bertemu dengan Norman Susanto yang dari dua minggu yang lalu ingin aku wawancarai seputar perjuangannya dari seorang tukang becak hingga kini menjadi atlet voli dan pengusaha sukses. Masih aku pandangi saja antimo itu, akal sehatku menertawakan sisi diriku yang lainnya. Ya ampun Dewa, hanya karena kamu ingin tertidur kamu jadi beli antimo, hahahaa. Ya itu yang aku rasa, aku rasa ini jalan keluarnya, karena dari malam jujur aku sulit tidur, alhasil mata lelah ditambah badan yang kurang vit.
Beberapa saat aku komunikasi intrapersonal, tiba-tiba aku tersentak ada satu bungkus permen relaxa tepat dihadapan wajahku menunggu, ku menoleh ke kiri, dan terdengar suara "Permisi mba,".. Kulepaskan headset secepat mungkin, kemudian ku ambil beberapa recehan sisa uang kembalian dan kuberikan, ini sudah bukan fenomena baru, ya ini pun bukan rahasia lagi, anak usia belia yang memang belum produktif bekerja, sekecil itu sudah harus mengais rezeki dijalanan, raut wajahnya betapa menampakkan kedukaan yang ia biaskan dengan senyum-senyum berharap beberapa uang pecahan dari setiap penumpang bus yang ia sambangi.
Kubuka segel botol air dan memutar sambil menekan keras tutupnya, kusobek pelan bungkus obat itu dan menyuapkan ke mulut yang memang sudah menunggu untuk segera kutelan. Tepat kubersandar ditepi dekat jendela kuamati sekitar, hiruk pikuk kota Bekasi sudah sepadat ini. Tua, muda, pria wanita, ada beberapa anak kecil, kernet yang berebut mencari penumpang, pedagang asongan yang berseliweran menawarkan dagangannya, polisi lalu lintas yang di bantu dua orang polisi lalu lintas lainnya untuk mengatur jalanan dipertigaan pintu masuk tol timur yang memang setiap harinya selalu dipadati mobil pribadi, bus, serta truk, bahkan hingga kontainer ikut meramaikan perlintasan Tol Timur. Belum lagi kendaraan beroda dua yang ikut merayap ditengah kemacetan. Semua hal yang aku lihat merupakan aktifitasnya tersendiri , masing-masing demi satu tujuan, mencari penghidupan untuk dirinya. seperti halnya aku duduk di Bus Bintang Sanepa ini, untuk satu tujuan menemui Norman Susanto, yang selama dua minggu lalu tidak bisa aku temui karena 13 - 19 Juni Voli di Banda Aceh , 20 - 26 Juni 2010 Norman Voli ke Kalimantan, dan 27 Juni sampai 28 Juni 2010 Voli di Jakarta. Aku rasa aku memang perlu menemuinya, kerena ini masih bisa di usahakan daripada via telp walau diizinkan dosen untuk mendapatkan data-data tulisan Jurnalistik Sastra yang akan aku buat.
Masih sempat menengok pergelangan tanganku, si besi casio itu menujukkan pukul 15.35 WIB. Sekitar 5 menit yang lalu setelah metelan antimo itu, mata mulai terasa berat, pandanganku mulai kabur menatap situasi yang ada diluar jendela sana. Masih sempat aku membuka tas dan melihat sihitam dengan baris-baris keypad dan ku tulis,
Maaf bila sms atau telpnya tak segera dibalas atau diangkat, aku minum antimo, sampai ketemu di rumah A Aples, Miss U.
Aku masukkan kembali handphoneku dan merapikan headset yang kupakai, entah beberapa lama mataku benar-benar berat dan terlihat gelap. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba aku dibangunkan oleh seseorang mengenakan pakaian serba biru bertulis bintang senepa di saku kiri baju kemejanya, cukup lama lelaki itu menepuk-nepuk bahuku, terlihat diraut wajahnya yang keheranan melihatku, aku tersentak dan terperanjat, “Maaf pak, berapa ongkosnya?Ini uangnya.”
Lelaki itu hanya tersenyum dan dengan santai bilang, “ Tenang nenk ongkosnya gampang, nenk belum turun ini kan, barangkali nenk mau istirahat dulu, dari awal naik nenk keliatammya tidur terus, ga pegel?”
Akulihat kernek itu sedikit terkekeh, aku hanya senyum bingung, “ Kan sekarang saya mau istirahat pak, pasti turunkan ya?” kubalas senyumannya.
“Bisa aja,” sambil menerima uang lima puluh ribuan yang aku berikan, dengan cepat pula kernet itu mengembalikan uang dengan nominal Rp 20.000,-.
Aku pandangi suasana dibelakang kursi tempat duduk, hanya ada dua orang penumpang pria sedang asyik ngobrol dan terlihat seorang satunya menenggak sebotol air aqua. Aku hadapkan kembali tubuhku dan menyenderkan kembali di kursi, ingin cepat sampai rasanya, aku melihat kembali si besi casio ditanganku, pukul 17.20 WIB. Aku malas turun, dan memutuskan untuk tetap tinggal didalam bus sampai mobilnya berjalan kembali.
Aku membuka tas merogoh kembali headset lalu memasangkan ditelingaku, mengutak-atik beberapa menu, kubuka menu music, menekan putar, lalu mulai mendengarkan beberapa lagu sendu mengiringi perjalanan. Kepala ini ingin terus menempel di sandaran kursi tempat dudukku, dibalik jendela sampingku kupandangi keadaan sekitar, pepohonan jati yang rindang sepanjang jalan, serta beberapa perkebunan coklat terlewati, sekilas dedaunannya terlihat hitam, karena keadaan mulai terlihat gelap, jelas saja karena saat ini meunjukkan pukul 17.57 WIB. Ada beberapa perkampungan yang nampak begitu tenang dan beberapa orang saja warganya yang nampak. Terdengar sayup-sayup kumandang adzan dari kejauhan, sesekali dari arah berlawanan ada mobil berpapasan disisi jalan lainnya, suasana yang sungguh lain dari kota penyanggah ibukota negara seperti Bekasi, disini begitu lengang dan tenang.
Mataku seolah termanjakan dengan suasana yang ada, perlahan-lahan mataku mulai merasa mengantuk kembali dengan diiringi musik yang mendayu-dayu. Tak sadarkan diri hingga beberapa waktu, namun tiba-tiba aku terkejut dengan suara dibalik sana begitu jelas melalui headset handphone yang tersambung ketika ada yang menelpon, “ Halluw, dari tadi di halluw-halluw ga jawab, pasti tidur pake headset ya? Dah sampe mana?”
Aku tekan tombol merah handphoneku, mataku memandangi sekitar, hah terlewat rumahnya, aku tersentak dan langsung bilang “ kiri,, kiri,, pak kiri, pak berhenti pak,” .
Langsung saja ku turun tanpa basa basi, setelah beberapa saat bus itu berlalu, aku mengamati sekitar. Opsss, ternyata belum terlewat, malah masih lumayan jauh, cukup 10 menit sampai di gerbang rumah A Norman. Satu menit kemudian dari arah yang berlawanan kaget dengan sinar terang dari motor lurus tepat posisiku berdiri. Aku menghempaskan nafas pertanda lega, bukan orang mabuk yang oleng mau menabrakku, tapi A Yusuf. Lelaki ini Nampak senym-senyum senang berhasil mengagetkanku. Sebagai balasan sudah mengagetkanku, kutolak tawaran menumpang motornya. Sambil mengiringi langkahku Ia coba memecah keheningan “Gak mau ikut tumpangan abang yang baik hati ini ya nenk?” dengan nada menggodanya.
“ Lain kali ya bang lagi banyak uang neh, jadi ga naek ojeg abang dulu ya?, kubalas sedikit mengejek. Sebaris gigi-gigi putih itu kulihat nampak merekah memyembul dari dibalik bibirnya. Dengan nada geli masih saja pria dengan sweater hangat merah balas mengejek.
“Cie Nenk sombong neh ya ceritanya? Ntar ada yang ga bisa ditanya lho, ga takut?”
Dengan nada geli akupun menjawab, “Banyak Bang yang ga bisa ditanya sama saya, noh aspal, trotoar, sampai kerikil-kerikil pada diem aja dari tadi.” Kini ia mulai terpingkal.
“ Kenapa turun sebelum depan rumah A Aples?”
Cepat aku menjawab “Iya neh bang pengen gerakin kaki dari tadi duduk terus di bus, kan takut kram kaki, hehe.” Padahal aku memang turun lebih awal sebelum sampai depan rumahnya yang kebetulan di sisi jalan lalu lintas utama Kota Majalengka. Hatiku terkekeh sendiri, sedikit menutupi rasa malu yang aku sembunyi denga alas an tidak mau dijadikan leluconnya kembali.
Norman Susanto yang pernah menoreh prestasi membawa kota Cirebon menjadi pinalis Porda Indramayu, membawa Kabupaten Banjar dapat Emas dalam rangka Porda Kalimantan Selatan, membawa Kabupaten Konawe dapat emas di Porda Kendari, membawa PERDAPA diajang Livoly. Norman Susanto senang di panggil Aples, nama panggilan itulah yang lebih kenal orang-orang.
Langkahku terhenti, beberapa rumah sudah aku lewati, terlihat warna gerbang rumahnya yang serba putih, bersinar ditengah kemalaman. Tepat dihadapanku dengan tepat kutekan bel dengan suara bel yang samar-samar terdengar suara salam Assalamu alaikum.
Gerbang rumah itu ternyata terbuka, terlihat di serambi rumah seseorang berpakaian koko melambaikan tangan pertanda menyuruhku dan A Yusuf masuk. Cukup 10 meter dari gerbang pintu rumah bercat putih aku melangkahkan kaki, berdiri dihadapanku pemilik tinggi badan 195 cm mempersilahkan aku duduk dirang , aku mengamati sekilas di meja bulat tersedia termos berwarna silver berukuran sedang tegak berdiri, sederet cangkir terbalik menghadap piring kecil dibawahnya, tidak ketinggalan lima toples bergambar emas motif bunga-bunga mengitari meja itu.
Sekilas aku kaget, di kepalaku sempat terpikir jangan-jangan ada tamu penting yang A Aples tunggu selain aku, secepat kilat aku bertanya pada pria kelahiran Cirebon 22 Februari 1982. “ Mau ada tamu penting ya A?” Devi mengganggu donk?”
“Muhun nenk, tah tos dongkap tamu na.”
(Iya nenk, ini sekarang sudah datang tamunya)
“Ya ampun A, kirain ada tamu yang begitu penting. Tetehnya mana A?”
“Di leubeut nenk, nuju ngaembokeun de Rania teu acan bobo tadi.”
Kami berdua dipersilakan masuk dan duduk dikursi kayu rotan yang teranyam rapih, nyaman sekali sambil mengitari meja bundar, seperti mau diskusi kelompok saja didalam hatiku berbisik, tapi malam ini aku senang.
Yusuf Indra Lesmana adalah junior satu tim Volinya A Aples, sejak SMA tahun 2006/2007 Yusuf sudah sering ikut bergabung bersama satu Tim dengan A Aples, bahkan Yusuf sudah pernah memberikan prestasi untuk daerahnya yaitu POPWIL (Pekan OR pelajar Wilayah), POPDA (Pekan Olahraga Daerah) yang Ia raih sejak kelas 2 SMA, KEJURDA (Kejuaraan Daerah)di Bekasi, PORDA Pantai di Pelabuhan Ratu Sukabumi , PORDA Pantai di Sidoarjo Jawa Timur, tahun 2007,dan Qualifikasi Piala Presiden di Palembang, 2008.
Tiba-tiba Yusuf cekikikan, heran melihatnya, dan kutanya langsung, “ Ikh..udah stres ya A Yusuf ketawa sendiri?”
“Kalian lucu, kayak gado-gado bahasanya, campur aduk tapi pada nyambung.”
Seketika kami bertiga terbahak. A Aples balas menimpali “Biarin ya nenk, gado-gado enak dimakan ya nenk ya, dah lah Leter B-an aja ngobrolnya ya.”
Kami bertiga hanya senyum-senyum, kulihat beberapa kali casio besiku, pukul 20.20 WIB.
“Jadi begini A, rasanya ga apdol kalau kita gag ngobrol langsung, Devi mau tahu perjalanan Aa sebelum sesukses ini.”Sambil tersenyum aku berucap.
Suami dari Fitri Zaenal Ulwiyah ini menerawang kedepan dan memulai ceritanya. A Aples memandang dan memberi senyuman getir diujung-ujung bibirnya.“Langsung aja kali ya nenk ke cerita intinya, permasalahannya terlalu banyak kegetiran yang Aa alami, dari awal suka voli aja ya nenk?”
Aku hanya menatap mata elang tajam miliknya dalam-dalam serta menghadiahkan balik senyumnya sebagai pertanda mengiyakan. Aku mulai meraba-raba kedalam tas bodypack hitam gendongku, aku mengenal persis posisi play pada tape recorder yang sudah aku siapkan. Kali ini aku sengaja ingin menyembunyikan tape recorder ini, untuk lebih mencairkan suasana silaturahmi dan santai saja.
“ Seperti suasana sekarang ini, Aa selalu duduk diserambi rumah, bukan santai seperti ini, tapi mengerjakan tugas-tugas sekolah, waktu itu Aa sekolah di SMA Sunan Gunung Jati Cirebon, pukul sepuluhan Aa masukin becak Bapak keteras rumah, bukan serambi seperti sekarang yang nyaman dan luas seperti kita bertiga tempati, tapi serambi dari tanah yang cukup untuk ukuran becak Bapak Aa. Inginnya becak juga dimasukin ke rumah.”
Sesekali A Aples menatap aku dan Yusuf secara bergantian, lalu meneruskan ucapannya.
“Serius banget nyimaknya? kayak belajar di sekolah aja, hehe.”
Kali ini Ia terkekeh sendiri, Aku dan Yusuf hanya saling menaatap dan tersenyum.
“ Siapa juga yang mau maling becak Bapak ya? tapi jaga-jaga tetap perlu, makanya becak Bapak, Aa rante tiap malam ketihang kayu rumah. Setiap buka pintu depan langsung terlihat Bapak tidur beralas tikar di lantai terbuat dari semen yang mulai bolong bolong, nafas bapak selalu terdengar keras, sebut aja ngorok, semua itu karena Bapak selalu kecapean nyari uang dari pagi sampai mau magrib Bapak baru pulang. Setiap pulang sekolah Aa selalu gantikan bapak narik becak. Tapi Bapak bukan pulang buat istirahat. Selesai dhuhur Bapak kerja serabutan lagi, jadi kuli panggul di Toko Bangunan Ko Edi di daerah Sumber.”
Bapak Karto adalah Ayah Norman Susanto ( Aples) Ia seorang tukang becak yang hampir 35 tahun menjadi pengayuh becak, karena tidak memiliki pengetahuan untuk dikembangkan Karto hanya bisa menarik becak dan serabutan jadi kuli.
Sejenak Ia menghentikan ceritanya, “ Jika Allah memberi pilihan kepada semua hambanya untuk memilih takdirnya, pasti Bapak tidak akan memilih jadi tukang becak, tapi subhanallah Bapak tidak pernah mengajarkan kami sekeluarga untuk meratapi takdir Allah Swt, selalu bersyukurlah atas kehidupan yang kita punya. Aa masih ingat setiap kali makan, Bapak selalu memimpin doa sebelum kita sekeluarga makan untuk selalu berterimakasih atas rezeki hari ini kita sekeluarga bisa makan. Satu telor ayam dibagi lima, kadang Bapak juga makan secukupnya hanya dengan nasi saja, tak sebanding dengan tenaga Bapak yang keluarkan setiap harinya.”
A Aples menoleh sesekali ke arahku dan Yusuf sambil mengagetkan, “ Heyyy,,, kenapa bengong sok atuh dimakan, diminum jamuannya.”
Basa basi ku ambil kue nastar berisi selai nanas untuk aku lahap, sebenarnya tak ingin, tapi aku harus bersyukur atas rezeki karena ditawari makanan.
A Aples masih meneruskan ceritanya, “ Pernah Aa ditanyai guru ketika pelajaran Agama Islam, Siapa yang jadi panutan Aa, Aa lantang jawab Bapak, Bapak anugrah dari Allah Swt sebagai penuntun keluarga, tanpa dia kita sekeluarga bukan apa-apa. Ketika Bapak meninggal di usia 55 tahun, Aa sempat begitu terpukul kepergiannya. Bukan tidak mengikhlaskan Bapak, Bapak meninggal menahan semua asma yang sudah lama Ia derita tapi tak pernah diobati, jangankan untuk pergi ke dokter, ia selalu bilang buat uang jajan kalian saja kepada Aa dan adik-adik. Walaupun bapak tidak meninggalkan warisan apapun, bagi aa sekeluarga warisan terbesarnya adalah ajaran dan semangatnya menyelami kehidupan dengan ridho Allah. Aa percaya Allah memberikan ujian sesuai dengan kemampuan hambanya. Allah Maha Adil seperti dalam asmaul husnanya, setelah seminggu selang kepergian Bapak. Aa dapat tawaran Voli mewakili daerah Cirebon. Dari sana kehidupan mulai berubah, Aa mulai diandalkan dalam setiap kejuaraan, baik antar daerah maupun luar wilayah, dari sanalah Aa bisa buktikan janji dihati Aa saat Bapak meninggal Bapak kalau Aa pasti bahagiakan keluarga Aa . Kadang ingin Bapak nikmatin hasil dari anaknya ini, tapi hanya doa yang selalu Aa panjatkan buat Bapak, Aa yakin Bapak tahu semua ini.”
Dari arah belakang tiba-tiba pundakku disentuh begitu lembut, kutolehkan pandangan, Teteh meremas perlahan pundakku, kupegang punggung tangan Teteh, seperti bahasa isyarat tapi aku menafsirkan sebagai tanda cerita hari dicukupkan saja. Aku menggem tangan teteh dan beranjak bangun, aku salami Teteh bergantian dengan Yusuf ikut menyalaminya juga.
Fitri Zaenal Ulwiyah adalah istri A Aples yang dinikahinya 09 Desember 2008. Pernikahan mereka dikaruniai seorang anak perempuan bernama Rania Fitri Susanti 20 September 2009.
“Marindel wae atuh, sok atuh ditarampi emamen na, sok enggal ngaleueut.” Teteh berusaha memecah kesunyian.
(Kok pada diem aja, ayo silahkan dimakan , cepet diminum atuh)
Teteh Fitri begitu anggun dan penuh keibuan mengenakan balutan gamis berwarna biru muda lembut sepadan dengan warna jilbabnya, Ia menghampiri suami dan mengelus lembut punggung lengannya yang memegang pegangan kursi, ditatap suaminya begitu dalam, nampak jelas betapa pasangan suami istri yang saling menyayangi. Teteh ikut menemani kita diserambi rumah. Sesaat terlihat A Aples beranjak bangun dan berpamit ke kamar kecil dan meninggalkan kita ke dalam rumah.
Bibirku sebenarnya sudah terasa begitu kelu, “ Teh Fitri, wios naros? Dimata Teteh A Aples kumaha?”
(Teh Firi boleh tanya, dimata teteh seperti apa A Aples?)
Teteh menatapku dalam, ada semburat cinta yang tak bisa terwakili dengan kata-kata melalui matanya. “ Aa suami hebat sekaligus anugrah terindah dikehidupan Teteh dan keluarga, santun budi pekertinya, hamba yang taat agama, sekaligus ayah yang benar-benar bertanggung jawab.”
Dari arah gerbang rumah masuk sebuah motor mio bercat merah mengkilap diterpa sinar lampu, semakin dekat semakin menghampiri, Tania adalah adik ipar A Aples. Tania sebenarnya bukan keluarga kandung asli dari teteh Fitri, Tania merupakan anak angkat keluarga Teteh Fitri, namun sudah seperti adik kandungnya sendiri. Tania termasuk atlet voli remaja wanita yang cukup populer di daerahnya.
“Eh , teh Devi.” Dia berseru melihat aku.
“Darimana nenk malam-malam begini bawa kantong besar gitu?”
“Dari Jogya abis belanja kebutuhan buat besok mau berangkat Voli ke Bandung. Lumayan bekel buat seminggu biar ga jajan disana. Hehehe.”
“Oh, hebat uyyy….Nenk, mau tanya, seperti apa A Aples dimata nenk?”
“Wuih jangan ditanya teh, So far so good. Kakak yang bertanggung jawab n benar-benar menjaga adiknya. The best deh. Selain baik, dia juga pelatih voli tania yang keren dahhh” Tania sambil berlalu dan pamit masuk meninggalkan kami masuk ke dalam rumah.
Semenit kami sama-sama terdiam, ku akhiri malam ini dengan pamitan ke teteh, ku tunggu A Aples keluar, lalu Ia keluar juga, saat itu aku dan Yusuf sama-sama beranjak dan pamitan.
Lelaki yang menyenangi hobby voli dan memancing ini terlihat agak kaget dari arah dalam rumah, “lho kok buru-buru?”
Yusuf menyambar “ Karunya A, wengi teuing kabumina, teu enak ku Bibi na bilih disangka ku Yusuf dibawa kabur,hehehe” Ia sedikit melucu mencairkan suasana.
(Kasian A, terlalu malam, ga enak sama tantenya, ntar disangka Yusuf bawa kabur, hehehe)
“Muhun atuh mangga, hati-hati dijaralanna nya, ieu nyandak kue na atuh sok nyandak?” A Aples menawari. Aku hanya tersenyum halus sebagai tanda berterimakasih.
“ Haturnuhun A waktos na, punten nganggu wae Aa,”
( Terimakasih A untuk waktunya, maaf kalau mengganggu terus ya Aa)
“ Ya Allah nenk, henteu atuh bageur, Aa bingah tiasa berbagi, sing janten barokah setiap perjalanan Aa, mugia nenk sareng Yusuf oge sami, eta wae doa ti Aa mah.”
( Ya Allah nenk, tidak kok, Aa bahagia bias berbagi, supaya jadi berkah setiap perjalanan hidup Aa. Semoga Nenk dan Yusuf juga sama, itu saja doa dari Aa ya.)
“Muhun A, berharga pisan perjalanan hidup Aa kangge di sharing ka sadaya jalmi, sukses terusnya A, pamitnya teh.”
(Iya A, sangat berharga sekali perjalanan hidup Aa, buat di sharing ke semuanya, seukses terus juga ya A, pamit ya Teh)
Kusalami A Aples dan Teh Fitri bergantian, menunggu Yusuf menyalakan motor aku menoleh ke belakang melambaikan tangan ke arah pasangan suami istri itu. Aku sedikit memandangi rumah serba cat putih yang berukuran besar dengan bergaya jaman dahulu namun elegant. Setelah motor menyala aku duduk dengan tenang, aku hanya mampu mengucap, “ Makasih ya A Yusuf nemenin aku malam ini, pengen cepet sampai rumah, aku pengen cepet istirahat”
“Ia nenk istirahat yang cukup, nanti langsung tidur jangan lupa berdoa ya sebelum tidurnya.”
Diperjalanan kami sama-sama diam , hanya pertanyaan aku satu-satunya yang memecah keheningan malam , “Dimata Aa, A aples seperti apa?”
“Hmmm,,, ya kayak orang donk, hehe. Yang jelas Ia pemanin yang hebat, santun, dan ramah.” Itu saja gurauan sekaligus jawaban lugasnya.
Setengah jam saja, kami sampai didepan gerbang rumah tanteku, Aku membuka pagar besi bercat hitam dengan hiasan bunga-bunga menghiasi sepanjang pagar rumah, ku sasar gembok yang memang aku punya serep kunci untuk membukanya. Aku mengetuk pintu, dari dalam aku lihat lampu ruang tengah menyala kembali, tanteku membukaka pintu depan.
“Eh Vie , kaleubeut enggal, sareng saha?”
(Eh Vie, ayo masuk, sama siapa?)
Dari arah belakang Yusuf memperlihatkan badannnya, “ Mangga Bi, jajap Devi wae dugi ka Bumi, tadi tos ti Bumi A Aples, assalamualakum.
(Permisi Bi, jemput Devi aja sampai rumah, habis dari rumah A Aples. Assalamualaikum)
“ Waalaikum salam” serentak aku dan bibiku menjawabnya.
Sesampainya di kamr tempat biasa aku tidur, aku membuka tas gendong hitam bodypack, dan menekan tombol stop pada tape recorderku. Inilah putaran sebuah kehidupan yang begitu berharga.
Kadang Aku lupa atas semua nikmat yang pernah tanpa aku sadari betapa besarnya pemberian-Mu. Hatiku benar-benar terenyuh atas semua cerita penuh makna yang A Aples ceritakan, jadikanlah aku dan keluargaku termasuk orang-orang yang selalu bersyukur dengan segala Ridho yang Engkau berikan.
Semoga ini menjadi cerita yang baik untuk semuanya. Amin

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More