Rabu, 06 Juli 2011

Titik Kebebasan (TOR)

Kutuliskan kisahku…..

Dikesunyian malam, aku berada di sebuah kamar berukuran persegi panjang dengan dinding berwarna merah muda dan salah satu sisi dindingnya tergambar dua buah kartun tengkorak yang bernama jake skelington (the nightmare before christmast) dan seorang kartun wanita berjilbab merah muda, berbaju biru dengan motif bunga yang menghiasinya, gambar itu merupakan hasil karyaku. Tepatnya tanggal 30 Juni 2011 pukul 00.32 WIB aku mulai menggoreskan tinta hitam diatas beberapa lembar kertas putih. Aku mulai menulis kisah yang pernah aku alami selama setahun lamanya. Kutelungkupkan tubuhku diatas tiker rotan berwarna kuning kecoklatan, tepat menyamping di bawah kasur tanpa kerangka kayu dengan spray berwarna merah muda bermotif kartun couple. Sambil bersandar diatas bantal panjang berwarna merah muda yang diikat kedua sisinya, aku terhanyut dalam memori masa lalu, dengan sekuat tenaga aku berjalan ke belakang berusaha menyusun bagian-bagian puzzle dari kisah yang kualami bersamanya. Kisah ini terkadang terasa manis dan pahit. Terdengar detak jarum jam yang berbentuk bulat dan berwarna merah muda yang bersandar di dinding kamarku.
Siapakah aku?
Aku bernama Choerunnisa, orang-orang sekitar biasa memanggilku Icha atau Chill, kini usiaku 22 tahun. Aku mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi, Sastra, dan Bahasa semester 4 di Universitas Islam 45, Bekasi Timur. Bentuk fisikku tidak seperti usiaku, aku memiliki postur tubuh yang kecil. Orang-orang terkadang tertipu dengan penampilanku, aku tampak seperti anak yang masih bersekolah. Aku merasa beruntung, “berarti aku awet muda”, pikirku. Mungkin itu salah satu alasan pria yang lebih muda ‘brondong’ berani mendekatiku.
Awalnya aku sangat anti pria yang lebih muda usianya dariku alias brondong. Aku selalu meremehkan kawan-kawan wanita yang mempunyai kekasih pria yang lebih muda usianya. Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran mereka. Menurutku brondong tidak istimewa, childish, bau matahari, tidak gentle, dan tidak mandiri. Namun aku menelan ludahku sendiri, pikiran itu bagaikan senjata makan tuan bagiku setelah aku mengenal sosoknya.
Sosok yang kuimpikan…
Tepat bulan Maret tahun lalu,2010, aku mulai dekat dengan sosoknya. Sosok brondong yang membuat ludahku kutelan mentah-mentah. Kami sudah lama saling mengenal, kuanggap sosoknya seperti adik lelaki bagiku. Dia pun mendekatiku. Kedekatan kami merubah segala persepsiku tentang brondong. Dia memberikan signal-signal cinta kepadaku, semakin hari hubungan kami pun semakin dekat. Kami seperti dua insan yang saling jatuh cinta. Sosoknya bernama Harinto Seno Arsyad Dibyo,. Seno, begitu panggilannya, usianya lebih muda 5 tahun dari usiaku. Setahun yang lalu usiaku masih 21 tahun, dan dia berusia 16 tahun, pelajar dari STM BPS&K, Jakarta Timur, tempat pendidikannya saat ini. Postur tubuhnya lebih tinggi dariku, berkulit putih, hidungnya mancung, berparas tampan, wajahnya tampak lebih dewasa dariku.
Hari demi hari, dia selalu memberiku perhatian dari hal kecil pun. Aku menerima perhatiannya. Kami pun semakin dekat. Aku merasakan kenyamanan ketika berada didekatnya, dan sejenak melupakan hal bahwa dia adalah pria yang lebih muda dariku. Dia sangat baik padaku. Kami pun mempunyai panggilan kesayangan ‘jelek’ begitu kami saling memanggil.
22 Maret 2010
Pada tanggal 22 Maret 2010, pukul 01.00 WIB, aku dan Seno berencana pergi ke Kebun Raya Bogor, namun rencana itu kami batalkan karena hari semakin siang. Tempat pertemuan kami bernama wm (warnet warman), lokasinya di komplek perumahan Jatibening Estate, Bekasi Selatan, tempat perumahan yang kami tinggal. WM merupakan tempat kongko bersama kawan-kawan. Tiba-tiba Seno mengajakku nonton film di bioskop. Dia mentraktirku nonton.
“Jelek, kita nonton aja yuk, kan ke bogornya gak jadi”, Ajak Seno.
“Nonton?Nonton apaan?”, tanyaku.
“Apake lek, yang lagi diputer aja disana”, jawabnya.
“Nonton dimana?”, tanyaku lagi.
“Di MM aja yang deket”, jawab Seno.
“Okeee”, aku menyetujuinya sambil tersenyum manis.
Kami pun berngkat menuju Mall Metropolitan bekasi, dia mengendarai motor kesayangannya, Yamaha berwarna merah. Ditengah terik saat matahari menebarkan senyumnya. Sesampai di Mall, kami pun segera menaiki eskelator menuju gedung teater 21. Pilihan kami jatuh pada film ‘The wolfman” yang diputar pada pukul 15.00 WIB.
Setelah selesai nonton, kami pun menuju tempar parkiran, dia pun melajukan sepeda motornya menuju wm, tempat kongko kami. Masih tidak percaya kejadian ini nyata atau khayalan semata, aku berhubungan dengan pria yang lebih muda usianya 5 tahun dariku, dia lebih pantas menjadi adikku.
Sesampainya di wm, kami disambut dengan kawan-kawan. Mereka mendukung hubungan kami dan melemparkan guyonan serta tertawa riang. Aku lebih kaget, jantungku berdegub kencang “Dug..Dug..Dug..Dug” seperti mau copot dari jaringan-jaringan yang ada didalam tubuhku saat Seno mengungkapkan isi hatinya kepadaku. Dia menyatakan cinta di depan kawan-kawan, semua mata seolah-olah tertuju kepadaku, aku pun merasa senang dan tersipu malu, mukaku tampak seperti kepiting rebus yang kematangan di atas panci stainless yang direbus dengan api berukuran besar. Perasaanku tercampur aduk, antara senang dan shock. Aku pun menerima cintanya dan berharap tak sadarkan diri dari paham anti brondong yang selalu melekat pada diriku. Saat itu aku tidak perduli pada pandangan miring orang lain terhadap hubunganku dengan pria yang lebih muda usianya.
Kami pun menjadi sepasang sejoli yang merajut cinta. Aku tertarik padanya, dia tampak dewasa dari umurnya. Dia sangat baik dan perhatian padaku. Itulah yang membuat diriku luluh padanya. Hari-hari kami pun selalu kami lewati bersama. Seakan dunia dimiliki oleh kami, dan yang lainnya hanya menumpang. Aku merasa seperti menjalani hubungan dengan pria yang seusia denganku.
Jalan dua minggu hubungan kami, Seno pun memperkenalkanku kepada keluarganya. Dia pun mengajakku kerumahnya dengan cat berwarna ungu disana tampak seorang pria berkulit sawo matang berambut panjang ikal sebahu dengan kumis hitamnya, berkaos hitam melemparkan senyumnya kepadaku disudut bangku bagian teras rumahnya, aku pun mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, itulah ayahnya yang bernama Arie Damai, seorang musisi, bakat bermain drumnya menurun kepada buah hatinya, Seno, karena buah tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya,. Keduanya sebagai drummer di masing-masing kelompok bandnya. Aku pun masuk kedalam rumahnya, dan melihat sosok wanita berkulit putih, berparas cantik, dan tampak anggun dengan daster batik panjang yang dikenakannya, kami pun saling berkenalan, dia pun melemparkan senyum manisnya kepadaku dan bertanya tentang diriku, itulah ibunya bernama Dewi Asmarini, sebagai seorang wanita karir di perusahaan Bulog. Adiknya, bernama Dandung Dwi Antono, masih bersekolah di SDN Jakasetia IV Bekasi Selatan, Ia tampak mirip dengan Seno, akan tetapi berkulit sawo matang. Aku dikenalkan juga oleh om, adik laki-laki dari ibunya, bernama moeslih Arsyad Fadholi, berambut gondrong, berpostur tinggi dan bertubuh kurus, kami menyebutnya Omci. Karena perkenalan itulah, hubunganku dengan keluarganya semakin dekat dan mereka seperti keluarga baru bagiku.
Aku pun mengenalkan Seno dengan keluargaku, namun Seno tampak memberikan jarak. Dia lebih terlihat kaku tampak terpaku saat dikenalkan kepada keluargaku. Dia merasa canggung, karena memang dia merasa asing jika berkenalan dengan orang baru. Hubungannya dengan keluargaku tak sedekat hubunganku dengan keluarganya. Kaka perempuanku, Indah sulistiyani, seorang guru sekolah taman kanak-kanak, tidak menyetujui hubungan kami, Ia tampak tidak suka dengan Seno, menurutnya Seno tak seramah pria-pria yang sebelumnya dekat denganku. Ayahku, Ilham Subekti dan Ibuku, Lilis Qomariah menyetujui hubungan kami, mereka selalu berpikir positif apabila aku dekat dengan teman pria, mereka berpikir untuk menambah pertemananku dengan siapa pun. Adiku, Indra Subekti, Ia tidak berkomentar apapun karena Seno merupakan temannya, namun tidak dekat. Ia tampak seiya sekata dengan kedua orangtuaku.
Ayahnya Seno pun memberikan kepercayaan kepadaku untuk membimbing anaknya agar bersekolah lebih rajin, karena Seno termasuk siswa malas yang sering membolos di sekolahnya. Aku pun berhasil membuatnya menjadi rajin sekolah, walalupun prosesnya agak sulit, karena sifatnya seperti batu yang sukar dipecahkan. Dengan sedikit ancaman, aku pun berhasil menanganinya. Ancamanku jika dia membolos lagi, maka hubungan kami berakhir. Dia pun menuruti kata-kataku dan lebih rajin sekolah walaupun dengan sedikit keluhannya.
Dia sangat menyayangiku dan selalu memberikan perhatian yang lebih kepadaku. Aku merasa bahagia menjalani hubungan dengannya. Satu bulan, dua bulan, dan tiga bulan hubungan kami terasa begitu manis dan terasa begitu bahagia dibuatnya. Kami selalu mengisi hari-hari kami berdua. Aku suka menemani dirinya latihan musik bersama kelompok bandnya. Kami sering canda tawa bersama. Kami sering keluar untuk makan bersama. Sepertinya tiada hari tanpa dirinya. Belum ada pertengkaran diantara kami, hubungan kami masih terasa hangat dan nyaman.
Awal konflik…
Namun ketika jalan empat bulan hubungan kami, tiba-tiba dia membuat peraturan yang membuatku tercengang. Peraturannya kami tidak boleh berinteraksi dengan masa lalu(mantan-mantan) di dunia maya atau pun di dunia nyata. Dunia Maya justru sering menjadi pemicu pertengkaran diantara kami. Dia pun menyuruhku menghapus pertemananku dengan masa laluku, serta kontak handpone pun tidak luput dari peraturannya. Dia pun melakukan hal yang sama.
Sebenarnya aku tidak pernah mempermasalahkan masa lalu, karena menurutku masa lalu hanya masa lalu yang sudah berlalu dan masa sekarangyang kita jalani saat ini. Namun aku tidak bisa melawannya, hanya bisa mengalah dan menerima peraturannya. Aku lebih baik menghindari pertengkaran diatara kami.
Setiap hari pun bila ada waktu senggang, kami sempatkan untuk bertemu, tiada hari tanpa bersamanya. Kami bagikan dua sisi kertas yag direkatkan dengan lem dan sulit dipisahkan. Beberapa bulan selalu kami lewati bersama, namun menginjak 5 bulan hubungan kami tidak jarang muncul konflik diantara kami. Seno sangat menyayangiku, dia tidak ingin kehilanganku, menurutnya hubunganku dengannya hubungan paling lama yang dia jalani dengan seoarng wanita. Dan baru kali ini, dia menjalani hubungan dengan wanita yang lebih tua darinya. Perasaan sayangnya yang berlebihan kepadaku, sangat membuatnya menjadi pria yang mempunyai kadar kecemburuan yang berlebihan. Apabila rasa cemburunya muncul, dia bisa meluapkan emosi yang berlebihan. Namun aku tetap sabar menghadapinya, karena sekeras-kerasnya batu masih dapat dipecahkan dengan air yang mengalir deras.
Kesalahan pertama yang pernah Seno lakukan padaku, ketika dia tidak mau jujur saat mantannya yang bernama Shantia, mantan kekasihnya saat di sekolah SMP Perguruan Rakyat II, Jakarta Timur menghubungi dirinya. Dia baru mau jujur ketika aku sudah mengetahuinya. Disitu aku merasa kecewa karena selama ini aku selalu jujur kepadanya. Ketika mantanku yng bernama Panji Guntur Sudigdo saat disekolah SMA PUSAKA I JAKARTA menghubungiku, aku pun berkata kepadanya. Kejujuranku membuat amarahnya meledak. Aku pun kena semprot caci makinya. Kepikiran dalam benakku untuk mengakhiri hubungan dengannya, terasa perih hati ini tersayat-sayat saat kepercayaan yang aku berikan kepadanya selalu disia-siakan. Saat ingin mengakhiri hubungan dengannya, dia memohon untuk diberikan kesempatan agar dirinya bisa memperbaiki kesalahannya dan berjanji tidak mengulanginya.
Sebagian kawan-kawanku tidak menyukai hubunganku dengannya, karena menurut mereka dia tidak pantas denganku karena perbedaan usia kami. Mereka menganggap Seno hanyalah anak bocah yang tidak dewasa sedikit pun. Namun cintanya telah membutakanku, sehingga aku selalu memberikan kesempatan kepadanya untuk membuktikan janjinya padaku. Aku terpaku melihat usahanya untuk membuktikan padaku, itu membuatku luluh bagaikan jinak-jinak merpati. Aku terharu dibuatnya, dia melakukan apapun yang aku minta, aku terhenyuh dan tak ingin melihatnya bersedih hati, karena kuyakin setiap insan mempunyai kesempatan untuk berubah lebih baik dan tidak ada satu pun orang yang sempurna di dunia ini.
Kesempatan yang kuberikan pun dipergunakan dengan sebaik-baiknya, namun itu tak berlangsung lama. Tidak jarang ketika kami sedang senang melewati waktu bersama, tiba-tiba satu hal yang bisa memicu emosinya yang meluap-luap ketika dia merasa cemburu. Namun aku selalu berusaha menenangkannya. Hubunganku bagaikan roll coaster yang naik-turun dan berlika-liku, terkadang tenang seperti air, terkadang bergelombang seperti ombak, dan terkadang bergemuruh seperti petir. Aku berpikir itu alamiah dalam setiap hubungan.
Hingga suatu hari, dia memintaku untuk memberikan alamat email dan password facebook, jejaring sosial di dunia maya yang kami gunakan, hal ini selalu menimbulkan kobaran api dalam hubungan kami. Dari situlah perang dunia antara kami tak terelakan lagi. Hal spele menurutku, menjadi hal besar untuknya. Ternyata dia sering membuka akunku, beberapa kawan yang mengajakku obrolan di facebook, apalagi kawan priaku sering sekali diajaknya bertengkar. Bila ada yang menyapaku di facebook , mengomentari status dan mengisi dindingku, pedang perangnya pun siap disingsingkannya. Peperangan diantara kami pun tak terhindarkan lagi.
Suatu waktu aku menjadi tahu jati dirinya Seno yang sebenarnya. Saat itu aku janjian untuk bertemu kawan pria yang kuanggap sebagai kaka lelaki bagiku bernama Gerry Rezky, dia kawan sewaktu aku menginjak sekolah menengah atas di Pusaka Nusantara I Jakarta, dia tampan, berkulit sawo matang, badannya tampak berisi, rambutnya gondrong ikal. Aku menganggapnya sebagai kaka lelakiku, aku selalau mencurahkan isi hatiku padanya. Aku pun meminta izin kepada Seno saat ingin bertemu dengannya, seperti bawahan yang akan meminta izin pada atasannya, mulutku bergetar, sedikit ragu untuk mengucapkan kata demi kata, dan tampak pucat pasi menghadapinya. Seno pun menatapku, tatapannya seperti harimau yang akan mencengkram mangsanya. Aku pun terbujur kaku ketika dia menginterogasiku.
“Jelek, aku mau ketemuan sama bang Gerry besok”, ucapku.
“Terus?-tampak sinis sambil mengotak-atik handpone samsungnya-“,jawab Seno.
“Iya, maksudnya boleh apa enggak ?, tanyaku.
“Dalam rangka apa?”, tanyanya.
“Abangku ulang tahun, jadi mau ditraktir makan-sambil mengangkat kedua alis mataku dan tersenyum-”, jawabku santai.
“lu doang yang ditraktir?”, bentaknya.
“-tersentak hatiku, saat dia membentakku dan berkata lu kepadaku-enggak lah sama teman-teman yang lain-aku berbohong kepadanya, karena aku mau mencurahkan isi hatiku perihal Seno kepada Gerry-“, balasanku.
“yasudah, jangan lama-lama, sorry gue enggak bisa nganter!-sambil berlalu-“, jawabnya.
“terima kasih iya jelek”, teriakku.
Tak ada jawaban lagi darinya.
Keesokan harinya aku pun mengirimkan pesan ke nomor ponselnya, berukut isi pesanku padanya:
“Jelek, aku berngkat dulu iya, nanti aku sms kamu lagi kalau sudah sampai disana, kamu jangan lupa makan iya, aku sayang kamu.”
Akan tetapi aku tak mendapat balasan darinya. Sekitar pukul 10.00 WIB aku tiba di kediaman abang Gerry di Duren Sawit, kediamannya merupakan base camp kawan-kawan sma berkumpul. Kami pun bersenda gurau dan mulailah aku menceritakan perihal tentang Seno. Aku mnegluh kepdanya akan sikap dan perlakuan liarnya padaku, dimana dia selalu mencurigaiku, mempunyai kecemburuan yang terlewat batas, dan mudah meluapkan emosinya yang membabi buta kepadaku. Saat amarahnya muncul, gunung merapi pun akan memuntahkan isi-isi di dalamnya. Siang hari abang Gerry pun mengajakku makan bakso, setelah makan, kami pun bercerita-bercerita kembali. Tak terasa waktu kian sore hari , abang mau mengantarku pulang sampai rumah. Rencananya setelah maghrib abang akan mengantarku pulang. Sambil menunggu azan maghrib berkemundang dengan indahnya, sentak aku kaget dengan getaran dari handpone ku. Aku pun melihat layar bening dari handpone esiaku hidayah berwarna hijau putih, kubaca isi pesan tersebut:
“Sudah sore, mau pulang jam berapa lu?”, tanyanya kepadaku.
“Kenapa baru bales?”, jawabku.
“Gue tadi ketiduran sampai sore”, ketusnya.
“Oh begitu, enggak tahu ini tergantung abang Gerry”, balasku.
“Pulang sekarang, gue enggak mau tahu!”, perintahnya.
“Iya, sesudah azan balik ko”, jawabku.
Tak ada balesan darinya.
Namun beberapa menit berlalu, tiba-tiba ponselku bergetar kembali dret…dret..dret…kutatap layar kecil dari ponselku, tampak panggilan dari jeleku ebal ebol, begitu panggilan kesayangan kami, aku pun menekan tombol berwarna hijau bergambar gagang telepon dan menerimanya.
“Halo, kenapa jelek?”, jawabku.
“Pulang sekarang!”, bentaknya.
“Nanti dulu sayang, habis azan pulang”, jawabku.
“Kalau gue bilang, pulang sekarang iya pulang sekarang, pulang lu!, bentaknya.
“Sabar lek, aku kan jarang ketemu lagi sama temen-temen,” sabarku meyakinkanya.
“Gue enggak mau tahu, lu pulang sekarang, cepetan a****g!!!”, ucapnya sambil menegluarkan kata-kata kasar dan menutup teleponnya tut…tut...tut..tut.
Aku termenung, sontak terkaget dengan kata-kata yang baru saja dia lontarkan padaku. Dalam benakku berpikir dan bertanya-tanya tentang jati diri aslinya. Tetapi aku berusaha menyangkal dengan apa yang kudengar, mungkin pendengaranku salah. Namun abang Gerry menerangkan dengan jelas perkataan kasarnya. Abang Gerry pun ikut emosi dibuatnya.
“Cwo lu tuh chill?”, tanyanya.
“Iya bang”, jawabku lemas.
“Gila banget masih sekolah aja begitu iya, mau jadi apa tuh gedenya”, ledeknya.
“Mungkin guenya bikin dia kesel bang”, belaku.
“Putusin aja chill, udah berani ngomong kasar, nanti berani main tangan lagi”, usulnya.
“Jangan sampe deh bang”, jawabku tersenyum.
“Kalau dia berani macem-macem sama lu, bilang sama gue, nanti gue urus”, belanya.
”Okey bang”, jawabku sambil mengacungkan jempol.
Tiba-tiba handponeku bergetar lagi, panggilan yang sama dari seno, kuangkat dan kumenerima caci makinya. Aku tersentak dan terasa sakit sekali hati ini tercabik-cabik dibuatnya. Abang pun mengantarku pulang. Diperjalanan pikiranku dikacaukan dengan kata-kata kasarnya.
Semenjak kejadian itu kami tak saling tegur sapa selama dua hari. Ketiga harinya pun dia memohon maaf padaku atas kata-kata kasarnya. Aku pun menerima permohonan maafnya. Kami pun akrab kembali. Akan tetapi semakin beranjak usianya hubungan kami, semakin terlihat asli jati dirinya. Dia semakin menunjukkan sikap aslinya yang egois, mau menang sendiri, cemburunya yang terlewat batas, posesif, over protective, seakan menngiyahkan kenyamanan yang pernah kurasakan kepadanya. Selalu masa lalu dan pria lain yang menjadi pemicu pertengkaran kami. Sampai kaka sepupuhku yang bernama Ariv Wicaksono pun tak luput dari kecemburuannya. Mas Ariv bertubuh tinggi, badannya terlihat tegap dan berisi, berparas tampan, berkulit putih, berambut gondrong lurus dan seoranf fotografer, kedekatanku dengannya membuat Seno cemburu dan sering sekali meluapkan amarahnya ketika aku berinteraksi dengannya. Aku pun membatasi kedekatanku dengan kawan-kawan priaku. Kawan-kawanku pun tak luput dari kecemburuannya, apabila ada kawannya Seno terlau dekat denganku ketika kami bercakap-cakap, tampak raut mukanya sperti benang kusut dan sinis memandangnya.
Album fotoku di facebook bersama kawan-kawan pun tak luput dari padangannya, bila ada foto yang menampilkan aku bersama kawan priaku pun akan dihapusnya. Terlebih dia menghapus pertemananku dengan kawan-kawan pria yang dekat denganku. Saat dia tahu aku mempunyai akun twitter pun dia membuat akun tersebut, saat kutanyakan padanya, dia berkata untuk mengontrolku saat menggunakan akun tersebut. Pernah suatu kejadian, dia memberikan pesan kepada abang Gerry di facebook miliknya agar menjauhiku, karena aku sudah menjadi miliknya seorang. Aku baru tahu mengenai pesan tersebut setelah hubungan kami berjalan 7 bulan. Abang Gerry tidak memberitahukanku mengenai hal tersebut. Aku pun merasakan satu per satu kawan-kawanku habis dan pelan-pelan jauh dariku, seolah-olah dia merampas hak kebebasanku. Menurutku itu perbuatan yang keji ketika kita merampas hak orang lain. Setiap harinya gerak-gerikku selalu diawasi olehnya, sehingga ada rasa takut yang kurasakan ketika ingin berinteraksi dengan siapa pun. Aku merasa dipenjara olehnya. Ikatan tali yang diikat olehnya kepada diriku membuatku hari semakin hari kian sesak.
Dia melarangku berhubungan dengan masa laluku, dia mengatakan padaku bahwa kalau salah satu dari kami ketahuan berhubungan dengan mantan kekasih, lebih baik hubungan ini diakhiri. Aku pun menyetujuinya. Antara tidak kuat dan kuat aku menjalani hubungan yang seperti ini. Aku baru merasakan hubungan yang terlalu rumit dan berat aku jalani bersama dengannya. Mungkin karena kami pasangan yang berbeda usia, kemungkinan pola pikir kami selalu bentrok dan tidak sejalan.
Suatu saat dia membuat kesalahan lagi, aku membaca pesan di ponselnya saat terduduk di sudut bangku dari semen dan dilapisi keramik di wm, pesan tersebut ternyata dari mantan kekasihnya yang bernama Shantia, seorang wanita yang sama saat hubungan kami akan retak, kesalahannya dia selalu tidak bisa jujur denganku. Sebenarnya aku tidak pernah mempermasalahkan soal masa lalu dalam setiap hubunganku dengan siapa pun, karena menurutku silaturahmi itu penting, akan tetapi mauku dia bisa jujur dengan keberadaan itu. Kejujuran lebih baik daripada kebohongan. Sulit baginya untuk berkata jujur kepadaku, dia baru memberitahu dan menjelaskan kepadaku ketika aku sudah menegtahuinya. Perasaanku tercabik-cabik, sudah kedua kalinya aku merasakan rasa pahit yang tak ingin kurasakan lagi, namun aku tak bisa menghindarinya. Dia pun melakukan kesalahan yang sama. Tanpa berpikir panjang, aku pun berbicara kepadanya untuk mengakhiri hubungan kami yang sudah dirajut selama 7 bulan lamanya. Namun dia tidak menerima keputusanku. Dia menarik tanganku dengan kasar, dan aku disuruh olehnya untuk naik ke punggung motornya. Aku tidak mau, kuberontakkan tubuhku, aku takut dia akan bertindak bodoh padaku. Perasaanku tidak enak, jantungku berdetak kencang dag..dig..dug..aku pun berusaha menenangkannya.
Namun tak kuasa menahan amarahnya yang bergejolak, matanya memerah dan melotot ke arahku seakan bola matanya akan keluar. Dia memberiku isyarat untuk segera menaiki motor, aku pun menunggangi motornya dengan terpaksa, dia pun melajukan motornya dengan membabi buta. Kami pun berllau dari wm. Diperjalanan aku terus memukuli punggungnya, kulayangkan tinju ke punggungnya yang padat dengan tulang-tulangnya. Aku berontak, menyuruhnya untuk berhenti melajukan motornya, namun dia makin melajukan motornya dengan kencangt. Dia membawaku ke depan gang rumahnya untuk membicarakan kembali soal keputusanku ingin mengakhiri hubungan dengannya. Dia meminta alasan dariku. Aku pun menjelaskan perihal peraturan yang pernah dia buat tempo lalu bahwa ketika salah satu dari kami ketahuan berhubungan dengan masa lalu, hubungan kami pun berkahir. Dia seolah-olah melupakan kata-katanya kepadaku. Dia menatapku dengan penuh amarah, tubuhku terasa kaku. Aku menunduk dan tak berani menatapnya. Dia menarikku kembali untuk menaikki motornya, dia melajukan kembali motornya dengan kencang. Kami pun kembali ke wm, tempat tongkrongan kami. Dia pun menarikku ke sebuat tempat duduk yang jauh dari kerumunan orang-orang disana. Semua melihat kami dengan tampak keheranan, semua mata tertuju pada kami. Saat duduk , terdengar bunyi plak..plak..plak..plak…, dia mematahkan kedua kartu ponselnya sambil melihat kearahku, satu kartu cdma dan satu kartu gsm. Aku pun menatapnya dengan heran. Lalu prang..prang, dia melempar posel cdmanya ke aspal lapangan. Tercerai berailah bagian casing, keypad, dan batterenya. Selanjutnya aku meraih handpone gsm-nya agar tidak dilempar olehnya. Dia pun meminta handponenya, namun bersikeras aku tidak memberikan padanya. Dia pun menjelaskan padaku yang sebenarnya, namun aku hanya bisa percaya dan tidak tahu apa yang dikatakannya kepadaku berupa kejujuran atau kebohongan.
Sudah bulat tekadku untuk mengakhiri hubungan dengannya karena aku merasa tidak kuat menjalaninya lagi. Aku merasa kebebasanku telah dirampas, namun dia tidak mau mengakhirinya. Dia mau aku memberikan kesempatan lagi padanya. Dia memohon-mohon padaku agar hubungan ini tidak diakhiri. Namun akun sangat kecewa padanya.
Dia mengancam kepadaku akan bertindak bodoh seperti menyilet tangannya jika aku tidak mau memberikan kesempatan padanya. Saat itu emosinya sudah meledak-ledak dan akan meletus siap memunthkan lahar kemarahannya padaku. Dia pergi sejenak mengambil sepotong pecahan silet yang dia dapatkan dari warung, dia menunjukkan padaku silet itu akan segera dia goreskan ke lengan tangannya. Namun aku memukul lengannya, terjatuhlah potongan silet tersebut, dia pun segera mencarinya. Lalu aku meraih tangannya, namun dia meremas tanganku dan menekanku ke bagian bawah pinggir meja yang terbuat dari semen, kontan aku menjerit kesakitan karena tanganku tampak memar-memar kemerahan dibuatnya. Terpikir dalam benakku, dia kasar sekali, dia bersikukuh mencari siletnya namun aku berhasil menghalanginya. Lengan tanganku pun terkena tinju tangannya duk..duk. Memar ditanganku pun bertambah, seperti kulit ubi kemerahan. Aku tersentak kaget. Aku merintih kesakitan, namun dia tidak memperdulikannya. Dia ingin aku tetap memberinya kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku pun meminta waktu untuk memikirkannya.
Kebodohan atau kepolosanku, aku tetap menerimanya dan memberikan kesempatan lagi padanya untuk memperbaikki semuanya. Dia menunjukkan perubahan padaku, dia tampak lebih baik denganku. Dia menghapus beberapa pertemanannya dengan teman wanitanya dari facebook untuk membuktikan padaku bahwa dia mau berubah. Namun bukan cara itu yang kumau, cukup bukti perbuatannya saja padaku kalau dia mau berubah lebih baik. Aku tidak melarang dirinya untuk berhubungan dengan wanita manapun walaupun mantannya sekali pun. Namun aku hanya butuh kejujurannya. Tidak sedikit kawan-kawanku menyayangkan kembalinya aku kepadanya. Karena sebagian mengetahui keperawakannya.
Beberapa hari hubungan kami berjalan mulus, namun kembalinya hubungan kami mendatangkan malapetaka bagi hidupku. Yang kurasakan semakin hari kebebasanku semakin dirampas. Aku sangat menyayanginya, dia baik sebenarnya padaku, namun apabila kecemburuan dan kecurigaannya sudah muncul, dia bisa menjadi peluru yang siap membunuhku.
Masa lalu selalu menjadi pemicu pertengkaran kami, beberapa waktu lalu mantanku yang bernama Panji, dia mantanku saat di sma dulu, dia menghubungiku, menanyakan kabar tentangku. Seno pun langsung menukar kartu ku dengan kartunya, kami pun bertukar kartu. Kami hanya menggunakan ponsel gsm karena cdma-nya layarnya hancur dan tidak bisa dinyalakan kembali. Dia pun memintaku tidak menggunakan ponsel cdma-ku lagi. Aku pun menurutinya, karena dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak ingin bertengkar lagi dengannya.
Hari-hariku bersamanya, dia tidak bisa kalau tidak berjumpa denganku sehari saja. Setiap berjumpa, ponselku selalu diperiksanya, agar dia mengetahui siapa saja yang menghubungiku. Setiap hari tak luput dari pemeriksaannya. Aku merasa semakin lama kawanku semakin menjauh dan satu persatu menghilang, aku merasa bukan menjadi diirku, aku merasa hidup di dunianya. Dunia yang dipimpin olehnya, dunia yang dikuasai olehnya, aku merasa duniaku redup perlahan-lahan.
Seiring berjalannya waktu dia semakin berani memperlakukaku dengan seenaknya. Ketika emosinya meluap-luap, dia bisa mencaci makiku secara membabi buta, penghuni kebun binatang pun disebutnya, semakin lama perkataannya semakin kasar, belum lagi dia selalu membagi masalah kami di dunia maya, membuatku merasa malu dengan yang lainnya.
Dia pun berani mengulangi kesalahannya, dengan melukai fisikku, melukai hatiku. Pertengkaran kami belum lengkap kalau dia belum mengeluarkan kata-kata kasarnya padaku. Lengkap penderitaanku mengalami kekerasan fisik dan batin yang kurasakan.
Kedekatanku dengan keluarganya tidak mengubah perilaku kasarnya padaku. Orang tuanya sudah menganggapku seperti anaknya sendiri, tiap minggu pun kami suka berkumpul bersama di rumahnya. Namun aku selalu menyembunyikan perasaan sakit yang aku rasakan kepada anaknya. Aku tidak pernah menceritakan perlakuan buruk Seno kepada keluarganya atau pun keluargaku. Aku selalu menyimpannya dalam hati. Karena kuyakin suatu saat dia kan berubah. Pada dasarnya dia anak yang baik, namun kecemburuan dan emosinya yang berlebihan menghancurkan segalanya.
Selalu ingin mengakhiri hubungan dengannya, namun ancamannya yang akan bertindak bodoh misalnya bunuh diri, selalu menghalangi niatku untuk mengakhiri hubungan dengannya. Ketika bertengkar, dia selalu mencaci makiku dengan kata-kata kasarnya dan tubuhku tidak luput dari kekerasan yang dia torehkan padaku, terkadang ditoyor kepala ini, dicubit sampai merah kebiruan, ditinju tanganku, ditampar bahkan ditendang. Setelah seperti itu, dia selalu memohon maaf kepadaku dan memperlakukanku dengan baik sekali dari sebelumnya. Namun itu tak berlangsung lama. Dia akan mengulanginya kembali saat emosinya meluap-luap.
Berat untuk mengatakan putus dengannya, karena aku sering melihat tangannya berbekas luka siletan yang dia buat sendiri sampai darah pun keluar dari tangannya, namun tidak peranh masuk rumah sakit. Aku selalu berkata hubungan kami baik-baik saja apabila ada yang menanyakan padaku. Tidak sedikit yang bertanya padaku tentang Seno apabila dia sudah mencaci makiku di dunia maya, sehingga membuat kawan-kawan dan keluargaku membacanya.
Aku selalu merasa iri dengan hubungan kawan-kawanku yang bisa canda tawa dengan kekasihnya. Tidak denganku, yang selalu bertengkar dan bertengkar. Aku menyadari hubunganku tidak wajar dan tidak layak diteruskan. Hubungan kami tidak seimbang dimana ada salah satu pihak yang selalu mendominasi hubungan yaitu Seno. Aku dibuatnya sampai merasa tertekan dan ini tidak baik bagi perkembangan psikologi kami. Namun ancamannya yang selalu menghalangi niatku untuk mengakhiri hubungan dengannya.
Dahulu hubungan kami terasa indah, dia bagaikan pelangi yang mewarnai hari-hariku. Namun tidak lagi, seaakan dia menciptakan neraka bagiku. Saat dia berulang tahun, aku pun memberikan kejutan kepadanya, aku tahu dia mempunyai tingkat emosi yang tinggi, maka dari itu aku ingin membuatnya kesal, aku pun tidak mengucapkan selamat kepadanya, aku tidak memberinya kabar. Akan tetapi aku sudah bekerja sama dengan orang tuanya. Aku memberikan tas punggumg berwarna biru tua untuk dipakainya sekolah agar dia lebih rajin sekolah, aku pun memberika baju bergambar becak yang sama dengan bajuku agar kami bisa mengenakan baju itu seperti kembar, aku membuatkan cake flannel yang berisi pempek kesukaannya dan kartu ucapan spesial yang kubuatkan untuknya bernuansa lapangan basket, itu semua hasil karyaku. Dia pun berterimakasih padaku , walaupun sebelumnya dia kesal dengan kejutan yang aju buat. Syukuran ulang tahun yang diadakan di rumahnya membuatku mengenal keluarga besarnya, sambutan mereka sangat baik dan hangat padaku, mereka mendukung hubungan kami, karena orang tuanya bercerita perubahan Seno yang lebih baik terhadap sekolahnya semenjak berhubungan denganku. Seketika aku merasa lupa dengan penderitaanku selama ini, terlebih ketika neneknya mempercayakan padaku agar bisa membimbing sekolah cucu kesayangannya dengan baik. Alasan keluarganya pun membuatku lebih kuat menjalani hubunganku dengannya. Aku mengira perekanalan yang lebih dekat dengan keluarganya ini akan membuatnya merubah sikap dan perilaku buruknya padaku.
Penderitaan yang kurasakan, terkadang lupa sejenak dengan kebahagiaan yang dia berika kepadaku. Kami selalu melewati waktu bersama, ini begitu terasa manis dan pahitmya ketika dirinya marah, cemburu dan mengeluarkan emosi yang berlebihan kepadaku. Terkadang aku merasa rindu dengan duniaku yang dulu, dimana aku merasa menikmati kebebasanku untuk mengenal dan berkomunikasi dengan siapa pun. Namun tidak akan pernah bisa jika aku masih bersamanya.
Kesabaranku menghadapinya sudah melewati batas kesabaranku. Seakan beban-beban yang kusimpan tentang penderitaanku ini mau meledak. Bom waktu yang kutanam seakan mau menuju ke angka 00:00:00 dimana bom waktu itu akan meledak. Aku berpikir panjang untuk mengakhiri hubunganku dengannya, lebih baik aku kehilangan satu orang daripada aku kehilangan banyak orang yaitu kawan-kawanku. Aku rindu sekali dengan duniaku yang dulu, aku mau kebebasanku.
Dengan mengorbankan perasaanku yang teramat sayang kepadanya, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengannya. Namun dia tidak terima dan menolak bila kami berpisah. Dia menerorku dan terus mengancam akan mengakhiri hidupnya kalau aku tetap tegug berpisah dengannya. Aku tidak mau tergoyah lagi, aku harus tetap pada pendirianku, kesempatan yang selalu aku berikan kepadanya selalu disia-siakannya. Terlebih kata-kata dosen psikologi komunikaku di kampus, Idham Kholik, sangat mengena dihatiku.
“Pada dasarnya kita ini bebas, janganlah mau terkungkung dan merasa dijajah oleh siapa pun”, ucapnya.
Secercah kebebasanku…
Dengan keberanian dan semangatku yang membara, aku memberanikan diri bertemu dengannya. Namun tidak semulus yang kuduga, puncaknya saat dia melarangku untuk berteman dengan kawan-kawanku. Niatku untuk mengakhiri hubungan dengannya semakin menggebu-gebu. Dia memberikan suatu pilihan padaku, pilihan pertama aku memilih dirinya, pilihan kedua aku memilih kawan-kawanku. Dengan tegas aku memilih pilihan yang kedua, memilih kawan-kawanku. Aku tak mau lagi berada disangkarnya, inilah waktu kebebasanku untuk lepas dari sangkarnya. Kontan dia membelalakan kedua bola matanya kearahku, dia melontarkan kata-kata kasar padaku. Seketika aku merasa pintu sangkarku akan terbuka, aku melihat secercah kebebasan dari pintunya yang padat tak bercelah, aku melangkahkan kakiku utnuk menuju pintu itu dan segera meninggalkan sangkar terkutuk itu.
Aku pun telah keluar dari sangkar jahanam tersebut. Aku telah terbebas dari sangkarnya, walaupun belum 100%, karena aku melarikan diri. Aku akan mengambil kebebasanku yang telah dirampasnya. Dalam hatiku menari-nari. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Bom waktu dalam diriku sudah meledak…duarrrrrrr…..aku pun menumpahkan puing-puing kebahagiaan. Dia terus mengancamku untuk melukai dirinya. Aku tak perduli lagi dengan ancaman palsunya. Pikirku itu hanya ancaman, karena sampai detik ini dia pun masih bisa menghirup udara. Aku berpikir ini masalah waktu, lambat laun kami pun bisa menjalani hidup kami seperti dahulu tanpa harus bersama.
Sempat dia mempermalukan dirinya di depan kawan-kawan sepermainannya. Saat bertindak kasar kepadaku di penghunjung akhir hubungan kami. Awal-awal perpisahan, aku masih tak merasa tenang, dia masih menerorku dengan ancaman-amcamannya. Namun aku tetap pada pendirianku. Aku berusaha menghilang dari kehidupannya, aku tak menanggapi segala tingkahnya. Dia pun berani bersumpah untuk mengakhiri hidupnya dan berjanji tak akan mencari wanita lain selain diriku. Aku hanya tertawa sinis menanggapi ocehannya, karena aku tahu siapa dirinya dahulu. Dia mudah terjatuh dalam ikatan asmara. Aku hanya menggelengkan kepala. Karena aku yakin tak lama dia dapat melupakanku dan berpindah hati ke wanita lain.
Selang beberapa bulan, aku mendapat kabar dari seorang kerabat, bernama Shella, dia mengatakan bahwa Seno telah menemukan tambatan hatinya yang baru. Aku berpikir kata-kata sumpahnya padaku hanyalah sampah. Aku merasa tak perduli dengan apa yang aku dengar, tak ada rasa kecemburuan saat mengetahui dirinya mempunyai kekasih baru. Aku tak akan mengganggu kehidupannya, aku pun berusaha menghilang dari kehidupannya. Aku menghapusnya dari pertemanan jejaring sosial yang kami gunakan. Aku pun tak mau diganggu olehnya. Aku ingin hidup tenang seperti air. Namun menurutku tak berteman di dunia maya, kami pun masih bisa berteman di dunia nyata.
Aku tak pernah menyesal menjalani hubungan dengannya. Aku mengambil sisi positif dari apa yang sudah terjadi dalam kehidupanku. Aku harus lebih menghargai kawan-kawanku, aku tak ingin kehilangan dan jauh dari mereka lagi. Aku pun tak mau terjatuh di lubang yang sama.
Hidupku kini merasa lebih baik tanpa dirinya. Aku merasakan dan menikmati titik kebebasanku. Seperti saat sebelum berhubungan dengannya. Aku pun sudah memaafkan kesalahannya. Karena aku tak mau menanggung beban dengan menyimpan dendam padanya dalam diriku.
Berakhirnya hubungan kami, dia mengibarkan bendera perang padaku. Dengan jelas dia melayangkan permusuhan kepadaku. Namun aku tak menanggapinya. Karena menuruku perilaku buruk harus dilawan dengan perilaku baik. Aku tetap berusaha bersikap baik padanya. Sampai suatu waktu dia mengirim pesan ke ponselku. Dalam pesan itu berisi permohonan maaf atas perlakuan kasarnya selama ini padaku. Dia pun mengucapkan rasa terima kasihnya padaku karena membuatnya tersadar akan kesalahannya. Aku pun membalas pesannya, aku mengingatkannya untuk lebih rajin sekolah dan jangan melakukan kesalahannya kembali dengan wanita manapun. Aku hanya berharap tak ada lagi wanita manapun yang menerima kekerasan baik secara lahir maupun batin. Aku merasa lebih yakin, bahwa keputusanku untuk berpisah dengannya adalah keputusan yang tepat. Menurut www.psikologizone.com berikut pernyataan dari psikolog forensik dan juga pengajar Universitas Bina Nusantara (Binus) Jakarta, Reza Indra Giri Amriel, Jumat (17/6/2011) bahwa Perilaku kekerasan terhadap pasangan sangat cenderung mengulangi perbuatannya. Jadi memang lebih baik pisah pada saat terjadi kekerasan pertama kali.
Memang sepantasnya kami bersama dengan orang yang berusia yang sama dengan kami. Kami pun menjalin pertemanan seperti sediakala sebelum kami menjadi sepasang kekasih. Namun sampai saat ini, dia masih terlihat canggung menyapaku, hanya senyumannya yang dia torehkan. Inilah jalan terbaik untuk kami. Menjadi teman kembali, dan melupakan hal yang sudah terjadi. Saat ini aku menikmati titik kebebasanku. Aku dapat terbang dengan bebas kemanapun aku mau. Kini aku tak lagi didalam sebuah sangkar. Ini kebahagiaan untukku.

Choerunnisa
41182037090018
Ilmu Komunikasi

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More